Sajak-Sajak 1984

Renjana

malam ini tiada lagi keluh kesah
semua telah kugantungkan di dinding kamar
aku tidur membuang penat
yang menggumpal di pundak
dan memberati kedua kaki
semua kualirkan melalui nadi-nadi
lalu keluar dari setiap ujung jari

berharap nanti kujumpa mimpi
yang bakal melumat habis semua lelah
beri rasa damai, beri rasa bahagia
berharap pula besok pagi
tiada lagi resah gelisah
yang membentang di depan mata
menghalangi jalan yang bakal kutapaki
untuk bebaskan diri dari sakit hati
serta rasa benci, iri dan dengki

aku telah muak dengan kemesraan
karenanya tak sanggup lagi aku bercinta
aku juga bosan akan rayuan-rayuan
yang membius kesadaranku akan akibatnya
kali ini, kuubah haluan hasrat hati
agar aku dapat leluasa bernyanyi

esok pagi akan segera kujalani
langkah yang telah kuatur rapi
semoga di jalan aku dapat terjaga
terhindar dari panah-panah asmara
yang siap melumpuhkan langkah kaki
dan melenakanku dalam buaiannya
sungguh aku tak ingin itu terjadi
semoga tak ada sesal atas ketetapan ikrar
Tuhan, pejamkanlah mata ini
dan tundukkanlah hati
pada gemerlap cinta yang geriap
di sepanjang jalan yang akan kulalui

Yogyakarta, Januari 1984

Itukah Tandanya

untuk menimbang seberapa berat
kadar cinta kasihmu padaku
untuk mengukur seberapa dalam
kau curahkan perhatian padaku
hingga kau turut serta rasakan
apa yang sedang aku rasakan
sebenarnya patut, tapi perlu kau ingat
hal itu tak pernah aku tuntut

dengan ikut menenggelamkan diri
dalam kemurungan yang merundungku
maksudmu untuk menunjukkan kesungguhan 
tapi tidak mesti seperti itu caranya
tidak juga harus membuatmu begitu
sederhanya saja sebenarnya yang kumau
kau berikan saja kata-kata yang menghibur
”jangan putus asa, mari semua kita atasi bersama”
tapi yang kudengar bukan itu
”mari kita berbagi duka,” katamu
turut tenggelam dalam duka yang kurasa
dengan begitukah kau menafsirkan cinta
turut rasakan kenestapaan yang kuderita
dengan begitukah kau mewujudkan kasih
itukah tanda cinta kasih yang kau punya

Yogyakarta, Maret 1984

Sumbu Lentera

                                                  *) in memoriam Bung Adam Malik

seruling senja tak mengalun lagi
kini berdebu meskipun di lemari kayu
dia yang senantiasa meniupnya
setelah hatinya ditumbuhi benalu
membuat keping parunya ikut rapuh
dan tali napasnya pun akhirnya putus

kecapi pagi tak terdengar lagi
kini tersingkir, tergeletak
dawainya berkarat
dia yang senantiasa memetiknya
semenjak degup jantungnya berhenti
nadi jemari tak bergetar lagi
berarti mati, berarti sepi

dia kini telah pergi
meninggalkan kita semua
dalam rindu menyimak seruling
dalam rindu mendengar kecapi

hanya buku-buku berdebu
yang memuat potret-potretnya
dan menggoreskan syair lagu
yang pernah dinyanyikannya
hanyut menguak sepi
lewat kecapi pagi
lewat seruling senja
menerawang gendang telinga kita
membuat kita mengangguk
membuat kita terpana
membuat kita mencintainya
membuat kita mengaguminya

kini buku-buku itu
dapat kita buka kembali
syair lagunya dapat kita baca lagi
dapat kita pelajari, dapat kita nyanyikan
meski tak semerdu bila dia yang melagukannya

petuah dalam syair lagunya
dapat kita jadikan pelita
penerang jalan hidup kita
agar dapat melangkah dengan layak
agar dapat meniti dengan rapi
dalam pekat dunia penuh rintangan ini
syukur bila dapat membuat kita
jadi wartawan seperti dia
jadi negarawan seperti dia
jadi pejuang seperti dia
jadi pahlawan seperti dia

kita jangan hanya tenggelam dalam duka
atas kepergiannya tuk selamanya
mari kita hidupkan kharismanya
mari kita jaga harum namanya
yang telah mekar dalam hati kita
abadikan semerbaknya selamanya

dia sang putra pertiwi
telah cukup mengabdi di negeri ini
mengukirkan jasa di hati rakyatnya
memilin sumbu lentera
yang kini menerangi jasadnya
yang tersemayam dalam kelam bumi

Yogyakarta, 23 Oktober 1984

                   *) Bung Adam Malik (67) wafat di Bandung, Rabu, 5 September 1984 pukul 08.05 WIB.

”BUNG!”

kawan, demi akrab pergaulan 
demi erat persahabatan
kupanggil kau dengan satu kata
tak sulit bagiku menyebutnya
tak geli kuping mendengarnya
dan kau pun bangga menerimanya
tuk menyandang panggilan: ”Bung!”

meskipun kau tak sepopuler mereka
empat serangkai putra persada
dwi tunggal proklamator Indonesia
Bung Karno, penggali Pancasila
Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia

dan ingatlah, jangan pernah lupakan
Bung Tomo, Si Arek Suroboyo
penyulut semangat rakyat terus berjuang
di medan laga Kota Pahlawan
agar tak jatuh ke tangan Mallabi
yang tak mau tahu kalau kita telah merdeka

satu lagi yang patut juga kita kenang
Bung Adam, Si Kancil Andalas
penuh vitalitas berkiprah mengisi
negeri merdeka yang geliat membangun
banyak pemikiran yang dia sumbangkan
dalam jabatan menteri dan terakhir wakil presiden
semua diembannya tanpa merasa beban

keempatnya kini telah hapus dari ruang mata kita
tapi potret mereka setia menghias ruang tamu kita
nama-nama mereka terpatri abadi di kedalaman hati
jasa mereka bukan main berartinya bagi negeri ini
kenanglah semua dalam setiap runduk wajah kita

Yogyakarta, 26 Oktober 1984


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan