Sajak-Sajak 1984
Renjana
Yogyakarta, 26 Oktober 1984
malam ini tiada lagi keluh
kesah
semua telah kugantungkan di
dinding kamar
aku tidur membuang penat
yang menggumpal di pundak
dan memberati kedua kaki
semua kualirkan melalui
nadi-nadi
lalu keluar dari setiap
ujung jari
berharap nanti kujumpa mimpi
yang bakal melumat habis
semua lelah
beri rasa damai, beri rasa
bahagia
berharap pula besok pagi
tiada lagi resah gelisah
yang membentang di depan
mata
menghalangi jalan yang bakal
kutapaki
untuk bebaskan diri dari
sakit hati
serta rasa benci, iri dan
dengki
aku telah muak dengan
kemesraan
karenanya tak sanggup lagi
aku bercinta
aku juga bosan akan
rayuan-rayuan
yang membius kesadaranku
akan akibatnya
kali ini, kuubah haluan
hasrat hati
agar aku dapat leluasa
bernyanyi
esok pagi akan segera
kujalani
langkah yang telah kuatur
rapi
semoga di jalan aku dapat
terjaga
terhindar dari panah-panah
asmara
yang siap melumpuhkan
langkah kaki
dan melenakanku dalam
buaiannya
sungguh aku tak ingin itu
terjadi
semoga tak ada sesal atas
ketetapan ikrar
Tuhan, pejamkanlah mata ini
dan tundukkanlah hati
pada gemerlap cinta yang
geriap
di sepanjang jalan yang akan
kulalui
Yogyakarta, Januari 1984
Itukah Tandanya
untuk menimbang seberapa
berat
kadar cinta kasihmu padaku
untuk mengukur seberapa
dalam
kau curahkan perhatian
padaku
hingga kau turut serta
rasakan
apa yang sedang aku rasakan
sebenarnya patut, tapi perlu
kau ingat
hal itu tak pernah aku
tuntut
dengan ikut menenggelamkan
diri
dalam kemurungan yang
merundungku
maksudmu untuk menunjukkan
kesungguhan
tapi tidak mesti seperti itu
caranya
tidak juga harus membuatmu
begitu
sederhanya saja sebenarnya
yang kumau
kau berikan saja kata-kata
yang menghibur
”jangan putus asa, mari
semua kita atasi bersama”
tapi yang kudengar bukan itu
”mari kita berbagi duka,”
katamu
turut tenggelam dalam duka
yang kurasa
dengan begitukah kau
menafsirkan cinta
turut rasakan kenestapaan
yang kuderita
dengan begitukah kau
mewujudkan kasih
itukah tanda cinta kasih
yang kau punya
Yogyakarta, Maret 1984
Sumbu Lentera
*) in memoriam Bung Adam
Malik
seruling senja tak mengalun
lagi
kini berdebu meskipun di
lemari kayu
dia yang senantiasa
meniupnya
setelah hatinya ditumbuhi
benalu
membuat keping parunya ikut
rapuh
dan tali napasnya pun
akhirnya putus
kecapi pagi tak terdengar
lagi
kini tersingkir, tergeletak
dawainya berkarat
dia yang senantiasa
memetiknya
semenjak degup jantungnya
berhenti
nadi jemari tak bergetar
lagi
berarti mati, berarti sepi
dia kini telah pergi
meninggalkan kita semua
dalam rindu menyimak seruling
dalam rindu mendengar kecapi
hanya buku-buku berdebu
yang memuat potret-potretnya
dan menggoreskan syair lagu
yang pernah dinyanyikannya
hanyut menguak sepi
lewat kecapi pagi
lewat seruling senja
menerawang gendang telinga
kita
membuat kita mengangguk
membuat kita terpana
membuat kita mencintainya
membuat kita mengaguminya
kini buku-buku itu
dapat kita buka kembali
syair lagunya dapat kita
baca lagi
dapat kita pelajari, dapat
kita nyanyikan
meski tak semerdu bila dia
yang melagukannya
petuah dalam syair lagunya
dapat kita jadikan pelita
penerang jalan hidup kita
agar dapat melangkah dengan
layak
agar dapat meniti dengan
rapi
dalam pekat dunia penuh
rintangan ini
syukur bila dapat membuat
kita
jadi wartawan seperti dia
jadi negarawan seperti dia
jadi pejuang seperti dia
jadi pahlawan seperti dia
kita jangan hanya tenggelam
dalam duka
atas kepergiannya tuk
selamanya
mari kita hidupkan
kharismanya
mari kita jaga harum namanya
yang telah mekar dalam hati
kita
abadikan semerbaknya
selamanya
dia sang putra pertiwi
telah cukup mengabdi di
negeri ini
mengukirkan jasa di hati
rakyatnya
memilin sumbu lentera
yang kini menerangi jasadnya
yang tersemayam dalam kelam
bumi
Yogyakarta, 23 Oktober 1984
*) Bung Adam Malik (67)
wafat di Bandung, Rabu, 5 September 1984 pukul 08.05 WIB.
”BUNG!”
kawan, demi akrab pergaulan
demi erat persahabatan
kupanggil kau dengan satu
kata
tak sulit bagiku menyebutnya
tak geli kuping mendengarnya
dan kau pun bangga
menerimanya
tuk menyandang panggilan:
”Bung!”
meskipun kau tak sepopuler
mereka
empat serangkai putra
persada
dwi tunggal proklamator
Indonesia
Bung Karno, penggali
Pancasila
Bung Hatta, Bapak Koperasi
Indonesia
dan ingatlah, jangan pernah
lupakan
Bung Tomo, Si Arek Suroboyo
penyulut semangat rakyat
terus berjuang
di medan laga Kota Pahlawan
agar tak jatuh ke tangan
Mallabi
yang tak mau tahu kalau kita
telah merdeka
satu lagi yang patut juga
kita kenang
Bung Adam, Si Kancil Andalas
penuh vitalitas berkiprah
mengisi
negeri merdeka yang geliat
membangun
banyak pemikiran yang dia
sumbangkan
dalam jabatan menteri dan
terakhir wakil presiden
semua diembannya tanpa
merasa beban
keempatnya kini telah hapus
dari ruang mata kita
tapi potret mereka setia
menghias ruang tamu kita
nama-nama mereka terpatri
abadi di kedalaman hati
jasa mereka bukan main
berartinya bagi negeri ini
kenanglah semua dalam setiap
runduk wajah kita
Komentar
Posting Komentar