Langsung ke konten utama

Gandrung Sewu

Sebagian dari 1.350 penari gandrung sewu siap beraksi meski diterpa panasnya udara Pantai Boom Banyuwangi.

Apa itu gandrung sewu? Bila yang ditanya mbah google tentu bisa menjawabnya. Bahkan bukan saja bisa, melainkan akan fasih menjelaskannya. Yaitu sebuah gelaran festival penari kolosal yang biasa dilakukan di Banyuwangi setiap tahun.

Pada tahun ini, festival gandrung sewu mengangkat tema Payung Agung. 1350 penari terdiri atas pelajar SD, SMP sederajat, dan SMA sederajat. Sesuai namanya "sewu", ya, tentu sekitar 1.000 atau lebih penari yang terlibat di dalamnya.

Digelar di Pantai Boom dari 24--26, menyedot ribuan pengunjung untuk menyaksikannya. Di pintu masuk (ticketing) sempat terjadi kemacetan kendaraan roda dua dan empat dari pengunjung yang antusias masuk ke lokasi festival.

Saking membeludak dan antusiasme yang tinggi para pengunjung. Memang, apa pun dan di mana pun, even tahunan tentu sangat diminati dibanding even bulanan apatah lagi harian. Setahun sekali dan tema yang berganti sangat ditunggu kehadirannya.

Sekatenan di Jogja dan Solo, festival atau jambore apa pun di tempat tertentu, selalu ditunggu orang-orang yang hobi traveling. Gandrung Sewu di Banyuwangi digandengkan dengan Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) yang dihadiri penyair se-Asia.

Peserta seminar terdiri atas sastrawan dan budayawan lokal Banyuwangi, se-Indonesia, Malaysia, dan Singapura antusias mengikuti seminar sastra.

Bertempat di sebuah gedung di Pantai Boom ditaja seminar sastra bertema "Revitalisasi Sastra Lokal Memperkaya Sastra Nasional" dengan narasumber Riri Satria, D. Zawawi Imron, dan Sofyan RH. Zaid dengan keynote speaker Dr. Ivan Syamsurizal Wakil Deputi Kemenko PMK.

Sebelumnya ada pula paparan dari Dr. Umi Kulsum, S.S., M.Hum Kepala Balai Bahasa Jawa Timur tentang pemuliaan bahasa daerah Using dan Jawa di samping penguasaan bahasa Indonesia di kalangan pelajar di Provinsi Jawa Timur yang kian bertambah jumlahnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...