Langsung ke konten utama

Kuliner Surabaya

Sepiring lontong balap 'asli' Pak Gendut terhidang dan siap disantap.

Terakhir ke Surabaya Mei 1992 dan baru pengujung Oktober 2024 ini kembali lagi. Berapa tahun jarak waktu terbentang? 32 tahun! Wow, sepanjang masa pemerintahan Orde Baru. Serasa tidak percaya, sekurun itu usia ini dipersambungkan, dipanjangkan terus oleh Allah SWT. Syukur alhamdulillah ya Allah, Engkau Maha Baik.

Google sejak kemarin menaburkan balon-balon di foto akun google sebagai apresiasinya pada ulang tahunku. "Happy Birthday Zabidi" terbaca di sana. Selalu begitu dari tahun ke tahun di setiap ulang tahunku. Anda tentu juga mengalaminya jika user name akun google Anda jelas. Lain hal bila user name dan tanggal lahir ngasal.

Terima kasih Google untuk ucapan 'Happy birthday' dan taburan balonnya.

Sebagai penanda terima kasih pada google yang rajin memberi ucapan 'happy birthday' dan sebagai bentuk terima kasih pada diri yang masih sehat dan panjang umur, tadi malam (Senin, 28/10) bersama istri, anak, mantu, dan kerabat yang ada di Surabaya, kami menikmati kuliner Surabaya, lontong balap Pak Gendut.

Pada dinding ada tulisan 'lontong balap asli Pak Gendut'. Mengapa ada kata 'asli' disisipkan? Tentu untuk menegaskan bahwa Pak Gendut lah orang pertama yang menciptakan istilah 'balap' pada usaha kuliner lontong. Sejarahnya, para penjual seperti balapan (setengah berlari) memikul dagangan dari rumah menuju tempat berjualan.

Lontong balap Pak Gendut di Jl. Embong Malang 38 tercantum nomor 1 di situs kuliner Surabaya. Baru diikuti lontong balap lainnya. Ada lontong balap Rajawali, Pak Dul, Cak Waidi, Pak Wahyu, Cak No, Mbah Ato (Patua), dan Pak H. Woko. Nomor 1 atau sekian tentu soal siapa yang mengurutkannya, tapi soal rasa tentu lidah tak bisa bohong.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...