Langsung ke konten utama

Abah Zawawi, Luar Biasa

Siap meladeni siapa saja yang pengin berfoto dengannya, itulah Abah D. Zawawi Imron si "Celurit Emas" (foto: dokpri)

17 menit lebih 51 detik aku merekam Abah D Zawawi Imron menyampaikan paparannya yang tanpa teks. Narasumber Seminar Revitalisasi Sastra Lokal Memperkaya Sastra Nasional, sebagai bagian dari acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Pantai Boom, Banyuwangi.

Beliau berjalan maju-mundur, mondar-mandir di antara kursi audiens seminar sehingga mengesankanku yang belum pernah bertemu langsung. Apalagi beliau selalu menghadapkan muka ke arah tempat dudukku sehingga tangkapan layar kamera persis ke wajahnya.

Lebih mengesankan lagi ketika tanpa aku duga, sehabis ke toilet beliau menghampiri dan berbisik kepadaku. Beliau berkata begini, "Saya barusan kencing, ternyata kencing air yang encer tidak senikmat ketika kencing airnya kental." Kontan aku tertawa ngakak dibuatnya.

Cewek reporter Radar Madura disebelahku bertanya, "Apa katanya?" Nggak aku jawab. Dalam hati aku berkesimpulan, pantas saja penyair Madura si "Bulan Tertusuk Ilalang" dan "Celurit Emas" ini awet muda di usianya yang sepuh karena punya sense of humor yang tinggi.

Tampil pada sesi ketiga setelah Dr. Riri Satria dan Sofyan Rh Zaid, abah Zawawi tampak energik di usia 79 tahun. Bercerita dengan mengutip beberapa penyair hebat yang nama mereka terkenal karena kekuatan kata-kata dalam puisi mereka yang diinspirasi oleh orang-orang atau media apa pun di sekitar mereka.

Gunung Merapi bersanding mesra dengan Gunung Ijen membuat Banyuwangi begitu memikat. Dibidik dari Pantai Boom. (foto: dokpri)

Saya memposting foto gunung kembar ini di WAG JSAT sembari bertanya, "Gunung opo iki, Rek. Isok diimajinasike gak... dadi puisi." Abah Zawawi menjawab gunung Merapi dan Ijen. Ya, menatap gunung kembar seperti "gunung" itu tentu memantik imajinasi yang tidak-tidak atau mengarah vulgarisme.

Menulis atau mencipta puisi atau karya sastra apa pun dengan bumbu vulgarisme tak bisa dihindari apabila memang ada unsur pemantiknya yang menggelitik imajinasi. Novel IQ84 Haruki Murakami berlepotan kalimat vulgar di beberapa halaman, namun penerbit tetap meloloskannya.

Sebagian peserta JSAT, dari kiri: Muh. Sheva (Jogja), Yoga Zulkarnaen, Eki Thadan, Mulyadi J. Amalik (OKI, Sumsel), Suhandhayana alias KoHand (Surabaya).

Padahal, selalu ada ketentuan. Dalam lomba menulis puisi bertema Ijen Purba: Tanah, Air, Batu yang ditaja Dewan Kesenian Blambangan, ini pun dibatasi syarat tidak mengandung unsur sara dan pornografi. Tetapi, pada kenyataannya ada beberapa puisi yang menggunakan diksi vulgar toh lolos juga.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...