Mata Anak-Anak
Tahun ajaran-baru baru saja berjalan sejak Senin (12/7/2021), di hari pertama masuk sekolah biasanya peserta didik disuguhkan masa pengenalan lingkungan sekolah atau MPLS. Sayangnya, bersamaan hari pertama tahuhn ajaran-baru merupakan hari pertama pula pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Darurat di luar Pulau Jawa-Bali. Sehingga MPLS dilaksanakan secara daring melalui zoom selama tiga hari berturut-turut.
Apakah semua peserta didik baru hadir di zoom meeting sejak hari pertama hingga penutupan MPLS? Belum tentu. Tergantung kesiapan infrastruktur yang (semestinya) ada. Kalau tidak memiliki gawai tentu tidak bisa mengikuti. Walaupun sebuah kemustahilan hari gini tak punya gawai kan. Ya, di masa pembelajaran jarak jauh, yang embuh kapan akan berakhir, punya laptop atau minimal gawai adalah sebuah keniscayaan. Sekalipun meminjam punya orang tua atau kakak.
![]() |
Kepala SMPN 28 Bandar Lampung menyematkan tanda peserta MPLS kepada perwakilan siswa kelas VII secara simbolis (foto kiri atas). (foto: dokumen SMPN 28). |
Problema kesiapan infrastruktur pembelajaran jarak jauh, memang tidak terbaca dari sorot mata anak-anak peserta didik baru itu. Semua tampak semangat dan takzim menyimak paparan yang disampaikan guru pengisi materi MPLS. Begitulah galibnya mata anak-anak, sorot yang tajam seolah mampu membungkus kesedihan yang dideritanya. Sorot mata yang sekilas menyiratkan semangat di tengah kejenuhan pembelajaran jarak jauh sejak tahun lalu.
Walaupun barangkali ada di antara sorot mata itu yang diciptakan secermerlang mungkin agar tidak tampak oleh teman-temannya yang lain, bahwa sesungguhnya ada kesedihan yang berusaha dipendam sedalam mungkin. Ya, barangkali ada di antara anak-anak yang wajahnya menyembul di layar laptop, baru saja kehilangan Ibu atau Ayah, karena meninggal akibat Covid-19. Sehingga membuatnya menjadi anak yatim atau piatu. Atau mungkin sebagai yatim piatu.
![]() |
Tangkapan layar peserta MPLS dan para pemateri yang menyampaikan materi MPLS secara virtual. (foto dokumen SMPN 28) |
Anak-anak yang sorot matanya cemerlang itu, tentu datang dari lapisan masyarakat dengan berbagai strata sosial. Karena pandemi dan PPKM sehingga tidak kelihatan berapa banyak mobil atau motor yang berhenti di mulut gerbang sekolah menurunkan anak yang diantar orang tua atau driver ojek online. Berapa banyak juga yang jalan kaki karena orang tuanya hanya pemulung, pekerja serabutan, buruh cuci, atau pedagang cilok keliling yang terpaksa berhenti berdagang karena PPKM.
Barangkali ada sekolah yang gurunya menyampaikan materi pelajaran melalui zoom. Oh, idealnya begitu. Itu cara yang bagus. Tetapi, hanya mungkin bisa diterapkan di sekolah yang semua peserta didiknya anak orang kaya. Yang di rumahnya ada jaringan wifi 24 jam nonstop. Yang mau bagaimana pun metode pembelajaran jarak jauh bisa semua mereka ikuti. Kalau di sekolah yang status sosial peserta didiknya bermacam ragam rupa, tentu perlu dipikirkan secara matang.
Peserta didik yang tidak mampu, yang datang dari kelas masyarakat marjinal. Jangankan kendaraan, sedangkan gawai dan kuota data untuk belajar melalui Google Classroom saja, sebuah problema bagi mereka. Itu pun masih ada peserta didik yang tak sepenuhnya serius mengerjakan semua tugas yang diberikan guru. Padahal itu demi kepentingan mereka sendiri. Ketika saat pembagian Buku Rapor, baru mereka plonga-plongo tergagap-gagap karena nilainya di bawah KKM. (ZY)
Komentar
Posting Komentar