Langsung ke konten utama

Hujan Bulan Juli

”Hujan Bulan Juli”  Suasana hujan di BKP, Sabtu (17/7/2021)  foto: koleksi pribadi

Pembagian musim di Indonesia adalah kemarau (Mei–September) dan penghujan (Oktober–April). Tetapi hingga pertengahan Juli ini, di beberapa wilayah masih sering diguyur hujan dengan intensitas ringan, sedang, sampai lebat. Tentu saja hujan yang masih kerap turun di musim kemarau ini patut kita syukuri. Alhamdulillah, puji Tuhan, anugerah Allah Tuhan Yang Maha Pengasih bisa memberdayakan para petani untuk bisa terus menanam palawija dan padi di sawah tadah hujan.

Kemarin, Sabtu (17/7/2021), di lingkungan perumahan kami, Bukit Kemiling Permai, Bandar Lampung hujan turun cukup deras. Daun-daun tanaman kembang di sisi jalan di muka rumah terlihat semringah kala diciumi hujan. Cucuran hujan dari atap yang limpah ke parit depan rumah akan merantau jauh hingga ke sawah-sawah yang masih tersisa di pinggir perumahan BKP. Sawah-sawah ini untuk sementara masih bisa bertahan, entah nanti, mungkin kelak akan lenyap jadi perumahan juga.

Mengapa masih ada hujan di musim kemarau? Yang pasti itulah bukti bahwa Tuhan Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-Nya. masih dicurahkan-Nya hujan agar alam tidak begitu kerontang. Agar simpanan air di dalam tanah tidak cepat habis disedot pompa-pompa air milik orang gedongan, hotel-hotel di kota besar, sehingga sumur dangkal milik warga di sekitarnya kian dangkal bahkan asat sama sekali. Tuhan Mahabaik, dikirim-Nya hujan sedikit-sedikit.

Tetapi, terlepas dari Mahabaiknya Tuhan Pemilik Alam Semesta, secara keilmuan, menurut Prakirawan BMKG Gumilang Derandyan, di Indonesia dikenal tiga tipe pola hujan, yaitu monsoon, equatorial, dan lokal. Pola hujan tipe monsoon bulan Juni berada periode musim kemarau. Pola hujan tipe equatorial dan lokal pada bulan Juni berada pada periode musim penghujan. Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di garis ekuator (khatulistiwa), karena itu kekayaan di dalam perut bumi dan alamnya sangat melimpah.

Adapun faktor penyebab masih ada curah hujan di musim kemarau ini adalah pertama, adanya suplai uap air basah dari Samudra Hindia memengaruhi pembentukan awan konvektif, khusunya di pesisir barat Sumatra dan Jawa bagian barat. Kedua, akibat anomali suhu muka laut pada kondisi netral pada bulan Juni dan mulai bernilai positif pada bulan Juli, mengakibatkan pertumbuhan awan hujan masih cenderung besar untuk wilayah timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, dan Papua).

Faktor penyebab ketiga, adanya aktivitas gelombang ekuator yang masih aktif di wilayah utara dan tengah Indonesia pada awal hingga pertengahan bulan Juni. Hal ini menyebabkan pola tekanan rendah, perlambatan kecepatan angin dan konvektif kuat yang mampu meningkatkan pertumbuhan awan hujan di wilayah Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Papua Barat. Pada akhir bulan Juni aktivitas gelombang ekuator akan menurun sehingga potensi pertumbuhan awan hujan di sebagian beasr wilayah Indonesia akan ikut menurun.

Penyebab keempat, adanya dominasi angin timuran. Hal itu menunjukkan bahwa di wilayah Indonesia Tengah (sebagian besar Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) memasuki musim kemarau. Namun demikian, angin timur masih akan mendominasi monsoon Australia yang cukup signifikan hingga akhir Juli. Dengan demikian, potensi pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia Bagian Selatan menjadi rendah. Jadi posisi Indonesia di garis ekuator ternyata sangat menguntungkan.

Mengapa menguntungkan? Karena faktanya walaupun sudah masuk musim kemarau ternyata masih ada sebagian wilayah yang dianugerahi curah hujan. Pun sebaliknya, walaupun sudah masuk musim penghujan nyatanya masih ada sebagian wilayah yang kering kerontang. Artinya, disaat musim penghujan pun masih ditingkahi pula oleh kemarau. Demikian sebaliknya, disaat musim kemarau ternyata masih ada hujan tercurah sesekali. Menguntungkan bukan? Hujan di musim kemarau membuat hawa tidak begitu sumuk. Panas di musim penghujan membuat jemuran bisa lekas kering. Joss tenan...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...