Gempa Pandemi
![]() |
Pantai Kasap Pacitan, Laut Selatan Jawa Timur, 23-06-2021, (foto: koleksi pribadi) |
Sungguh tak terbayang bakal digoyang gempa di ketinggian lantai 3 Hotel Harper Malioboro. Itu terjadi sebulan lalu, Senin (28 Juni 2021), selagi khusyuk berzikir usai salat subuh tetiba hotel berayun-ayun. Hah, ada gempakah? Saya saling beradu pandang dengan istri, yang seusai zikir berpindah ke atas kasur dan masuk kemul karena harus bergantian tempat salat. Kalau di rumah kami biasa salat berjamaah. Tetapi, berhubung di kamar hotel tempatnya terbatas, jadilah salat sendiri-sendiri bergantian.
Istriku yang kemulan bersandar di bantal memegang remote sedang matanya melayap, lier-lier setengah turu ditimpa kantuk. Digoyang gempa dia seketika kehilangan kantuk. Matanya terang memandang ke arahku. Selesai zikir kuraih hp dan membuka Twitter untuk mencari info dari BMKG. Benar saja, lokasi gempa 55 km Barat Daya Gunungkidul, terjadi pada 28 Juni 2021, 05:15:29 WIB, Magnitudo 5.3, kedalaman 48 km, pusat gempa 8.49 LS, 110.59 BT. Tidak menimbulkan tsunami.
Tadi malam, Selasa (27/7/2021), sembari rebahan di tempat tidur saya sambil baca Twitter. Puas tidur siang sepertinya, sehingga kantuk belum juga datang. Scroll terus tetiba sampai pada info gempa di akun BMKG. Gempa dengan Magnitudo 5.2 terjadi pukul 23:21:48 WIB, lokasi 95 km Tenggara Pacitan, pusat gempa 8.99 LS, 111.40 BT, pada kedalaman 10 km. Tidak berpotensi tsunami. Kalau dikaitkan gempa sebulan lalu, dengan pusat gempa yang berdekatan, berarti terjadi di garis yang sama.
Garis yang sama di sini maksudnya adalah zona subduksi lempeng di Samudra Hindia dan sesar aktif di daratan. Sebelum gempa di Barat Daya Gunungkidul (28/6/2021) dan Tenggara Pacitan (27/7/2021), pada Sabtu (10/4/2021) terjadi gempa dahsyat di selatan Kabupaten Malang. Bisa dikatakan dahsyat karena bermagnitudo 6.1 SR. 14.00 WIB. Ribuan rumah rusak ringan, sedang, dan berat. Kabupaten Malang wilayah paling parah terdampak. Blitar dan Lumajang juga ikut luluhlantak dibuatnya.
Momok Mengerikan
Di tengah pandemi Covid-19, eh ada pula gempa bumi berseliweran menghantui warga Jawa Timur dan DIY. Dalam kurun waktu enam bulan tahun 2021 ini terjadi gempa beruntun berulang kali. Baru saja tahun baru bergulir sudah disambut gempa. Rabu (20/1/2021) terjadi gempa di 116 km Barat Daya Gunungkidul (DIY), pukul 03:10 WIB, magnitudo 5.0, kedalaman 17 km, berpusat di 9.04 LS dan 110.51 BT. Rabu (24/2/2021) gempa pukul 06.18 WIB, magnitudo 4.7 di 8.73 LS dan 110.28 BT, kedalaman 26 km, 90 km Barat Daya Gunungkidul.
Alhasil, pandemi Covid-19 dan gempa bumi jadi momok mengerikan. Keduanya bikin parno. Keduanya sama-sama tak bisa diprediksi, Covid-19 bisa memapari siapa saja. Gempa bumi bisa terjadi kapan saja. Tidak ada yang tahu persis akan kena atau tidak kena virus. Tidak juga ada yang bisa menebak-tebak akan terjadi atau tidak terjadi gempa. Semua tergantung pada qada dan qadar dari Allah Swt. Qada merupakan kehendak Allah Swt yang akan terjadi, qadar adalah realisasinya.
3 Juni 2021 saya mengirim pesan WA di grup keluarga rilisan berita KOMPAS.com berjudul ”Soal Potensi Tsunami 29 Meter di Laut Selatan, BPBD Jatim: Warga Sudah Dibekali Mitigasi Bencana”. Daerah yang mungkin bakal terdampak, yaitu (mulai dari Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, hingga Banyuwangi). Itu disebut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam webinar Kajian Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami di Jawa Timur pada Jumat (28/5/2021).
Karena hanya membaca judulnya tanpa mencermati isi beritanya, mbak ipar di Pacitan ketakutan dan langsung menghapus pesan WA tersebut. Tidak mau bersusah payah membaca hingga tuntas berita, langsung dicekam kengerian. ”Kemungkinan buruk gelombang tsunami setinggi 29 meter itu adalah hasil kajian dan survei tim ahli. Tetapi soal kepastiannya kita semua tidak tahu,” kata Plt Kepala Pelaksana BPBD Jatim, Yanuar Rachmadi saat dikonfirmasi KOMPAS.com, Kamis (3/6/2021).
Literasi Media
Judul berita yang bombastis adalah strategi media dalam menarik minat pembaca. Tidak sedikit pembaca menjadi terkecoh dibuatnya. Ulah mengecoh pembaca itu dilakukan demi memancing interaksi yang ujungnya membuat readibility yang tinggi. Rasa takut dipengaruhi oleh banyak hal. Trauma terhadap suatu peristiwa di masa kecil, masa lalu yang kelam, atau kejadian buruk yang terus menghantui, dan sebagainya. Jadi, tidak bisa disalahkan. Merasa takut itu sangat manusiawi.
Tetapi menilik sejarahnya, berdasar rilisan berita www.mongabay.co.id, Kamis (17/6/2021), Pacitan memang pernah dilanda gempa bumi dahsyat bermagnitudo 7.2 yang terjadi pada 27/9/1937. Tsunami pun pernah melanda pesisir Jawa Timur. Untuk keseluruhan Jawa Timur, ada enam kali tsunami. Tsunami di Besuki (19/7/1830), Pacitan (4/1/1840), Madura (7/2/1843, 20/10/1859, dan 11/9/1921), serta Banyuwangi (2/6/1994). Tsunami yang terjadi di Pacitan kala itu menghajar 26 desa.
Literasi media adalah kemampuan mencerna berita. Pesan apa yang akan disampaikan media melalui judul yang dibuat sedemikian bombastis. Media cetak atau online memang senang sekali menempatkan judul yang menusuk mata, tujuannya sebagai pancingan terhadap pembaca agar tertarik membuka link berita tersebut. Nah, acapkali pembaca tersesat dalam rimba berita yang tidak sinkron antara judul dan badan berita. Teknik demikian sengaja dilakukan untuk mengibuli atau mengecoh pembaca.
Agar tidak tersesat di dalam rimba media, dibutuhkan skill untuk bisa menilai makna dalam sebuah berita. Seperti kejadian pada pesan WA di atas, judul berita KOMPAS.com membuat ngeri dengan potensi tsunami setinggi 29 meter. Tentang kapan akan terjadi kan tidak ada yang tahu persis. Karena dihantui rasa ngeri atau ketakutan yang amat sangat, pesan WA langsung dihapus tanpa membacanya dengan cermat. Mengapa? Karena kurangnya literasi media. Minim skill mencerna. Dan takuuuuuuut.
Komentar
Posting Komentar