Hari Bahasa Ibu dan Lonceng Kematian Kebudayaan

Danau Ranau zaman saya SD/SMP ini, kekira di dekat Puskesmas, namanya dulu ”Gegahan Tanggarajo” sumber foto: https://www.nusantaracentre.com/

Kembali kita merayakan Hari Bahasa Ibu (HBI) Internasional, yang diperingati setiap tanggal 21 Februari. Menyambut perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional tahun ini, saya pribadi agak semangat dikit. Pasalnya, sejak 2014/2015 di Unila ada program magister pendidikan bahasa dan sastra daerah (PS MPBSD), yang pembukaannya didasarkan surat Dirjen Dikti Kemendikbud No. 441/E.E2/DT/2014 tanggal 19 Mei 2014 yang memberi mandat kepada Unila untuk menyelenggarakan PS MPBSD. Padahal, Program D3 Bahasa Lampung sudah lama vakum tidak ada penerimaan mahasiswa baru. Jadinya sekilas agak aneh, sementara D3 saja vakum kok ada S2 tanpa S1.

Lantaran ada mandat dari Dirjen Dikti itulah, barangkali kemudian, tahun 2015 diwacanakanlah akan dibukanya Program S1 Bahasa Lampung yang perkuliahannya akan dimulai pada tahun akademi 2016/2017. Dibukanya S1 Bahasa Lampung ini sebagai upaya pelestarian budaya dan sastra Lampung. Konon seperti itu, tetapi ditunggu-tunggu kok tidak ada realisasi. Polemik pun manjang, berbagai kalangan melempar tanya; kapan, kapan, kapan, (na induh, mek kesiwan). Tahun 2018 Kemenristek & Dikti memberi restu dibukanya S1 Bahasa Lampung pada 2019/2020, (lampost.co, Senin (15/10/2018), tetapi lagi-lagi hingga tahun berlalu belum juga terwujud.

Setelah senyap cukup lama dari perbalahan tanya kapan do, kapan do, akhirnya pada 10 Februari lalu turun Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 30/E/0/2021 tentang Izin Pembukaan Program Studi Pendidikan Bahasa Lampung Program Sarjana pada Unila. Penyusunan program studi dilakukan sejak 2006, dimintakan izin sejak 2011 selalu ditolak pusat, 2015 diajukan lagi masih ditolak. Berjuang selama 14 tahun, turun juga. Momennya pas untuk merayakan HBI Internasional tahun ini. Para pihak yang memperjuangkan merasa haru, ucapan syukur serta terima kasih terhambur, perasaan senang terkembang, media (sosial) mengangkit berita dan komentar.

Semburat cahaya temaram upaya pelestarian Bahasa Lampung kian menampak terang dan cerah. Apalah gunanya PS MPBSD, ribuan lulusan D3 Bahasa Lampung tentu tidak bisa ’mencicipinya’ kalau tidak ada Program S1. Pun, buat apa lulusan S1 Bahasa Lampung (kelak) kalau pemerintah daerah tidak punya komitmen untuk mengangkatnya menjadi ASN sebagai guru mapel Bahasa Lampung yang hanya merupakan muatan lokal, di sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Bumi Ruwa Jurai ini. Komitmen dan kepedulian Pemda untuk memberikan kepastian kepada Unila, akan membuat para mahasiswa optimis dan tenang akan masa depan mereka setelah lulus.

Jangan sampai terjadi seperti yang diulik di cerita ini; http://zabidiyakub.blogspot.com/2013/09/halokke-di-lamban-tuha.html  ”Kepak lamon sarjana bahasa lampung sék dilulusko Unila, ké pihak pemerintah daerah lampung mék aga ngangkat rik nempatko tian jadi guru bahasa lampung di sekula-sekula SD rik SMP sék telesah di tanoh lampung jak kota tugok pekon-pekon asuk udi ya percumah gawoh. Uncukni angkah nyani persoal baru, lulusan PS bahasa lampung jak Unila no jadi pengangguran terdidik, sementara sekula-sekula sék mék ngedok guru bahasa lampung, tisepokko guru jak bidang studi lain, misal guru IPS sék kebetulan ulun lampung, injuk sék adu ticeritako di atas. Ké reno jalan cerita, dapok tipantasko ké lambat kidang pasti, bahasa lampung bakal lebon jak lambung bumi inji.”

Upaya pelestarian bahasa daerah (bahasa ibu) tidak bisa hanya diserahkan kepada para penutur alaminya saja. Harus juga ada upaya melalui pendidikan formal dan keberlanjutannya melalui komitmen pemda. Berkurangnya penutur bahasa ibu dikhawatirkan oleh semua daerah. Bahasa Sunda dan Jawa pun terancam, karena itu beberapa daerah mengupayakan pelestarian. Pemerintah Kota Tegal, misalnya, berencana memasukkan pelajaran bahasa ”ngapak” ke dalam kurikulum muatan lokal untuk diajarkan kepada siswa mulai dari SD, SMP, dan SMA/SMK. Di ranah sastranya, mulai banyak puisi gaya tegalan ditulis, dipublikasikan, dan dibukukan.

Untuk karya sastra berbahasa Lampung sendiri sudah ada 7 penghargaan Hadiah Sastra Rancage oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, yaitu: (1) Buku Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z Karzi, 2008. (2) Buku Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami, 2010, (3) Buku Suluh karya Fitri Yani, 2014, (4) Buku Negarabatin karya Udo Z Karzi, 2017, (5) Buku Semilau karya Muhammad Harya Ramdhoni, 2018, (6) Buku Lapah Kidah Sangu Bismilah (Bandung & Hahiwang) karya Semacca Andanant, 2020, dan (7) Buku Dang Miwang Niku Ading karya Elly Dharmawanti, 2021. Ke depan apakah buku sastra berbahasa Lampung akan semakin berkibar atau mati suri? Entahlah! Tetapi, kalau menilik populasi ulun Lampung di Provinsi Lampung yang tinggal 15 persen, agak layau juga.

Namun, paling tidak ada pihak yang begitu getol melakukan penelitian dan penciptaan teknologi untuk mendukung kemajuan dalam pemelajaran Bahasa Lampung. Misalnya, Meizano Ardhi Muhammad, dosen Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik Unila, ini menciptakan huruf dan papan tuts digital aksara Lampung. Pada Jumat (12/2/2021) ia memperagakan cara menggunakan papan ketik (keyboard) aksara Lampung di kediamannya. Bersama timnya, mereka meneliti dan melacak bentuk 20 huruf induk aksara Lampung yang telah dibakukan sejak 23 Februari 1985. Dikumpulkan pula 11 anak hurufatau tanda bunyi aksara Lampung. (Kompas, (16/2/2021, hal. 5).

Jauh sebelum itu, ia juga sudah menciptakan kamus Bahasa Lampung digital. Menggunakan frame word sebagai pengembangan aplikasi yang mendukung penggunaan di semua gadget atau komputer tablet. Siapa saja bisa mengaksesnya dengan membuka situs web: https://meizano.github.io/lampung /. Setelah alamat tersebut diklik tinggal masukkan saja kata yang akan dicari artinya baik dari Bahasa Lampung ke Bahasa Indonesia maupun sebaliknya. Dilengkapi pula dengan bentuk tulisan Had Lampung-nya. Dengan bantuan kamus digital Bahasa Lampung (dialek O dan A) ini, semakin mudah dan praktis melacak arti kata Bahasa Lampung melalui smartphone.

Cegah Kematian Bahasa

Headline Kompas, Selasa (29/10/2019), berjudul ”Cegah Kematian Bahasa” mengabarkan ada 11 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan punah dan 22 lainnya terancam punah. Kepunahan bahasa merupakan lonceng kematian bagi kebudayaan. Punahnya bahasa bisa berarti matinya sistem kebudayaan yang mendukung satu tatanan nilai dalam sebuah masyarakat. Bahkan bisa berarti pula memudarnya nilai-nilai toleransi yang pernah ditanamkan para leluhur lewat bahasa daerah. Data menunjukkan 121 bahasa daerah yang tersebar di wilayah Indonesia telah punah, sedangkan 22 bahasa terancam punah, 4 bahasa dalam kondisi kritis, dan 16 bahasa stabil tetapi terancam punah. Selain itu, 2 bahasa daerah mengalami kemunduran dan hanya 19 bahasa terkategori aman.

Pemetaan yang dibuat Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 1991 menyebutkan Indonesia memiliki 718 bahasa daerah, dan dari jumlah itu baru 74 bahasa daerah yang terkaji vitalitasnya. Menurut Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunendar, ada 32 bahasa daerah yang sudah terkonservasi, 27 bahasa terevitalisasi, dan 312 bahasa teregistrasi. Sementara itu, pada 21 Februari 2009, Organisasi Pendidikan, Ilmu dan Kebudayaan PBB (UNESCO) merilis terdapat 2.500 bahasa di dunia, termasuk 100 bahasa daerah di Indonesia, dalam ancaman kepunahan. Sebanyak 200 bahasa telah punah dalam 30 tahun terakhir dan 607 dalam kategori tidak aman. (ZY)

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan