Hijab, Akhiri Diskriminasi di Filipina
![]() |
ilustrasi foto siswi berjilbab di lingkungan sekolah (foto: BBC dari https://politeia.id/) |
Betapa sering kita membaca berita di surat kabar tentang perundungan, persekusi, dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Atas kejadian yang menimpa perempuan penyintas kekerasan seksual itu, acapkali muncul statemen yang cenderung menyalahkan mereka. Jadinya, mereka sudah mengalami kekerasan masih pula disalahkan. Peribahasanya, sudah jatuh tertimpa tangga. Statemen menyalahkan itu, misalnya, mempersoalkan pakaian yang mereka kenakan. Seperti baju ketat dan rok mini yang mengundang syahwat laki-laki. Ini sama sekali tidak rasional. Faktanya, perempuan berhijab pun ada yang menjadi korban pelecehan seksual sampai pemerkosaan.
Bila perempuan berhijab pun tak luput dari perlakuan tidak pantas dari laki-laki, lantas apa yang salah? Yang salah itu adalah isi kepala si laki-laki yang berpikiran kotor dan berniat tidak baik dalam berperilaku, terutama di hadapan (terhadap) perempuan. Kalau isi kepala laki-laki cenderung berpikiran baik (bersih dari noda yang mengotori) dan tidak mempunyai niat jelek (tidak baik), tentu perilakunya pun akan mencerminkan kebaikan terhadap siapa pun (terutama perempuan). Tidak peduli bagaimana penampilan perempuan di hadapannya, apakah berbaju ketat dan rok mini atau bergamis dan berhijab. Intinya, perilaku baik itu tergantung pada moralnya, baik atau bejat.
Hijab sebagai busana syar’i yang diwajibkan bagi kaum Muslimah, sebagaimana disyariatkan dalam Al-Quran Surah Al-Ahzab (33) : 59 dan An-Nuur (24) : 31. Pada kedua surah di Al-Quran itu, Allah Swt memerintahkan kepada Nabi untuk mengatakan kepada istri-istri dan anak-anak perempuan mereka, serta orang mukmin (beriman) lainnya, ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuhnya.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal dan tidak diganggu. Di sini jelas perintah menutup aurat denga mengulurkan hijab, berfungsi untuk lebih mudah dikenali identitasnya dan sedapat mungkin dapat menghalanginya dari gangguan atau perbuatan jahat (dari laki-laki).
Yang sering membuat miris adalah bila kebebasan berjilbab bagi kaum perempuan ”dijegal” oleh berbagai institusi atau lembaga. Misalnya, ada karyawati yang nggak boleh pake jilbab oleh kantornya. Ada siswi tidak dibolehkan berjilbab di tempatnya bersekolah. Bahkan di kalangan perguruan tinggi pun, ada kampus yang melarang mahasiswi berjilbab. Yang dijadikan alasan pelarangan itu kadangkala tidak logis dan terkesan mengada-ada, yang bisa dikategorikan menghalang-halangi kebebasan individu tertentu dalam menjalankan perintah agama (kebebasan beragama). Padahal, kebebasan beragama dan menjalankan perintahnya, dijamin oleh konstitusi (UUD 1945).
Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan berjilbab, tidak hanya terjadi di dalam negeri saja. Di luar negeri, terutama di negara sekuler, perempuan berjilbab rentan mendapat stigma negatif, misalnya dicurigai sebagai bagian dari kelompok Islam fundamentalis bahkan dituduh teroris. Gerakan penyadaran atau pemahaman bahwa Islam adalah Agama Rahmatan lil’alamin dan toleran terhadap agama lain, menjadi pintu masuk untuk mendapat pengakuan. Seperti yang dilakukan Amihilda Sangcopan, politikus Partai Anak Mindanao di Filipina. Dia berjuang agar DPR Filipina mengesahkan RUU tentang penetapan Hari Hijab Nasional, dan perjuangannya berhasil.
DPR Filipina telah mengesahkan RUU yang menyatakan bahwa 1 Februari diperingati sebagai Hari Hijab Nasional. Langkah tersebut diambil untuk mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang praktik Muslim serta toleransi terhadap agama lain di seluruh negeri. Disahkan oleh DPR Filipina pada Selasa (26/1/2021), dengan 203 suara setuju. Amihilda Sangcopan mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota parlemen karena telah mengesahkan RUU tersebut. UU tersebut sebagai bentuk upaya untuk mempromosikan pemahaman yang lebih besar di kalangan non-Muslim tentang praktik dan nilai mengenakan jilbab sebagai tindakan kesopanan dan martabat bagi wanita Muslim.
Disahkannya UU Hari Hijab Nasional di Filipina, diharapkan bisa mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan yang menggunakan hijab dan kesalahpahaman terhadap jilbab. Maka dari itu, UU tersebut dibuat untuk melindungi hak kebebasan beragama bagi perempuan muslim Filipina. Karena menurut Amihilda, pelajar muslim di Filipina tengah menghadapi pelarangan di beberapa Universitas untuk mengenakan hijab. ”Beberapa dari siswa ini terpaksa melepas hijabnya untuk mematuhi peraturan dan ketentuan sekolah, sementara ada pula yang terpaksa putus sekolah dan dipindahkan ke institusi lain. Ini jelas merupakan pelanggaran kebebasan beragama siswa,” tuturnya.
Lebih 10 juta muslim dari total populasi 110.428.130 di Filipina. Di berbagai negara, hijab sering disalahartikan sebagai simbol penindasan, terorisme, dan kurangnya kebebasan. Oleh karema itu, pengesahan RUU diharapakan akan berkontribusi besar untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan yang berhijab. Menurut Amihilda Sangcopan, mengenakan jilbab adalah hak setiap wanita muslim. Ini bukan hanya sekadar potongan kain penutup kepala, tetapi sudah dikatakan sebagai kewajiban dalam hidup mereka. ”Sudah dicantumkan perintahnya dalam kitab suci umat Islam, Al-Quran, bahwa setiap wanita muslim wajib menjaga kesucian dan kesederhanaannya, ” kata Amihilda Sangcopan.
Setiap tanggal 1 Februari diperingati sebagai Hari Hijab Sedunia. Oleh sejumlah perempuan muslimah di berbagai negara, peringatan ini tidak jarang dijadikan momentum untuk melakukan aksi menyangkal berbagai streotipe dan stigma negatif yang acapkali dikaitkan dengan hijab. Aksi penyangkalan itu terutama terjadi di negara-negara yang melarang keras pemakaian hijab atau nikab. Negara-negara yang melarang perempuan mengenakan hijab atau nikab, di antaranya; Turki (96 persen muslim), Chad (52 persen Islam, 44 persen Kristen), Denmark, Prancis. Bahkan Tunisia yang 99 persen muslim pun melarang dikenakannya hijab. Pasalnya, negara muslim di Benua Afrika bagian utara itu sangat ”dipengaruhi budaya barat.”
Islam sebagai agama dengan pemeluk paling banyak di Indonesia,
tentu begitu mudah kita temukan perempuan berhijab dalam berbagai aktivitas. Tidak
hanya saat bekerja di kantor, bahkan saat gowes
sepeda pun ada yang tetap kerén dengan hijabnya. Di mal-mal, bahkan di moda
transportasi publik pun, kaum perempuan akan merasa lebih nyaman dan aman
dengan mengenakan hijab. Di jalanan, melihat perempuan berhijab naik motor sudah
jadi pemandangan biasa. Mulai dari siswi yang mau ke sekolah, mahasiswi mau ke
kampus, karyawati mau ke kantor, bahkan emak-emak bakul jamu dan tukang sayur pun
ada. Komplet, deh! Artinya, mengenakan hijab bagi perempuan lebih menonjolkan identitasnya sehingga mudah dikenal dan karena itu (semestinya) tidak mudah diganggu.
Meski demikian, persoalan jilbab bagi perempuan di Indonesia sering memunculkan berbagai kontroversial. Viralnya video dari seorang ibu yang menyingkap adanya kewajiban siswi nonmuslim mengenakan jilbab di SMKN 2 Padang. Si ibu merasa keberatan bila anaknya harus berjilbab. Ketentuan siswi berjilbab itu berawal dari peraturan yang diterbitkan Fauzi Bahar (Wali Kota Padang saat itu) khusus untuk muslim, tapi peraturan itu juga diikuti oleh siswi nonmuslim (secara sukarela) tanpa paksaan. Peraturan itu berjalan bertahun-tahun (sejak ditetapkan tahun 2006-an) tanpa ada yang mempersoalkan apalagi memprotesnya. Baru ibu satu ini yang mengeluh dengan mengunggah video karena ada miskomunikasi dengan Wakil Kepala Sekolah yang memberi penjelasan.
Penggunaan jilbab itu bertujuan untuk efisiensi karena ada tradisi salat berjamaah di musalla, yaitu agar siswa/siswi tidak ribet harus bawa kain, maka dibuatlah aturan siswa bercelana panjang dan siswi rok panjang dan berjilbab. Siswi nonmuslim pun (secara sukarela tanpa paksaan) mengikuti aturan tersebut. Bila ada waktu salat berjamaah bagi yang muslim pergi ke musalla atau masjid dan yang nonmuslim pastoran ke gereja. Itu yang terungkap dari keterangan Fauzi Bahar sewaktu diwawancarai tv bersama Syaiful Huda anggota DPR RI dari Komisi 10 sebagai penanggap dan memberikan masukan yang mengarah kepada saran agar peraturan tersebut dievaluasi dan ditinjau kembali.
Era digital serba permisif. Orang suka-suka membuat konten dan diunggah di media sosialnya masing-masing tanpa memperhitungkan dampak yang akan ditimbulkannya. Video ibu itu menjadi sorotan publik. Kejadian itu berujung adanya ancaman Kemendikbud, dibahas Komnas HAM dan KPAI, dan menjadi santapan media ”menggorengnya” jadi berita. Ada anggapan bahwa itu mengancam kebhinekaan, tidak menghargai prinsip keberagaman, dan intoleran, hal itu dibantah oleh Fauzi Bahar. ”Masyarakat Kota Padang sangat-sangat toleran, peraturan itu dibuat setelah ada masukan dari berbagai pihak dan ditetapkan melalui pertimbangan yang matang, dan nyatanya berjalan bertahun-tahun tanpa ada persoalan. Bahkan diadopsi oleh kabupaten/kota lain." kata Fauzi Bahar memberi penjelasan sewaktu diwawancara tv.
Komentar
Posting Komentar