Langsung ke konten utama

Bebek Carok

Bebek Carok di Kemang, Jakarta Selatan.

Kemarin lusa, berkereta dari Surabaya ke Jakarta. Berangkat Rabu (30/10) pukul 21:45 dari Pasar Turi dan tiba Kamis (31/10) pukul 09:15 di Pasar Senen. AC tidak sedingin yang kukira, tapi tetap saja rasa ngilu mendera otot kaki sehingga keram seperti hendak melanda. Untung tidak sampai terjadi.

Secara check in hotel di Jakarta atau di mana pun biasanya pukul 14, tentu kan gak bisa ujug-ujug dari stasiun menuju hotel. Kebetulan oleh anak ragil dicariin hotel di daerah Kemang yang jangkauannya dari tempat indekosnya di Pasar Minggu lebih dekat daripada hotel lainnya yang ada di sekitar situ.

Ya, udah, sambil nunggu waktu ke Jaksel agak siang, sembari ngadem sarapan dulu di Solaria Stasiun Pasar Senen. Nasi tumis kembang kol jadi pilihan, minumnya es jeruk biar perut ikut adem. Lewat tengah hari baru menuju hotel dengan grab car, lumayan tersendat oleh macet. Biasa, hari kerja emang begitu.

Nasi tumis kembang kol, jamur kancing, wortel, daging ayam, dan irisan daun bawang serta bawang bombai. (Solaria Pasar Senen)

Malam ia datang membersamai menginap di hotel. Ditraktirnya makan di Bebek Carok. Ceritanya dahulu waktu ia makan di sana gak begitu lama menunggu. Tadi malam rata-rata yang hendak dine in di situ menunggu tak kurang satu jam. Kenapa bisa begitu? Bebeknya lepas kali 🤭 Ha ha ha... Hi hi hi...

Pasalnya, dapur masaknya cuma satu, tapi melayani dua kepentingan. Untuk yang dine in dan untuk yang gofood, terang saja tumpang tindih 'kebijakan' mana yang lebih penting didahulukan. Akhirnya gak bijak namanya apabila ada yang 'dibengkalaikan' begitu.

Bebek Carok secara rasa lebih memuaskan dibanding Bebek Sinjay yang kami nikmati di Pulau Madura pada Selasa (29/10) lalu. Karena bebek carok sambalnya tiga rupa; sambal ireng yang khas Madura, sambal bawang yang pedesnya nyelekit, dan sambal pencit.

Yang Bebek Sinjay di Pulau Madura sambalnya pencit doang, rasa pencitnya kurang seger dan pedasnya kurang nendang, tapi berhubung lapar dan sudah waktunya makan malam walaupun jelang magrib, ya, lahap banget menikmatinya. Daging bebeknya empuk, bumbunya terasa. Pantas pengunjungnya ramai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...