Langsung ke konten utama

Vaksin #1

jussss, jarum ditusukkan, saya pun disuntik vaksin dosis pertama (foto: koleksi pribadi)

Alhamdulillah hari ini saya disuntik vaksin dosis pertama (vaksin #1). Akhirnya, apa yang ingin saya dengar, namun tak terdengar nyatanya bisa saya peroleh. Ya, saya menunggu dan hanya bisa menunggu kalau-kalau ada info dari kelurahan melalui ketua RT tentang vaksinasi untuk warga. Tapi, apa yang saya tunggu tak juga datang.

Barangkali memang ada info itu, namun kekecualian untuk RT kami karena masih masa peralihan. Ketua RT lama meninggal dunia menyusul setelah satu tahun kematian istrinya. Jadi, kondisi demikian bisa diartikan RT kami ”yatim piatu”, tak berbapak-ibu RT. Nah, ketua RT yang baru belum dilantik alias belum ada kewenangan berbuat.

Pejabat kalau belum dilantik artinya kan belum punya SK sebagai alat kelengkapannya bekerja. Jika demikian, ketua RT kami tak punya wewenang untuk cawe-cawe ke warga tentang vaksinasi. Walaupun demikian, bisa saja info dari kelurahan disosialisasikan melalui RT lain, namun tak juga kedengaran. Entah ada entah tidak. Tak jelas.

Sebaliknya, dari obrolan saya di tempat vaksin dengan warga RT sebelah. ”Sebenarnya, ada info dari kelurahan ke ketua RT, di tempat kami disampaikan ke warga melalui WAG,” katanya. Artinya, jika benar yang dikatakannya, berarti bukan pendengaran saya yang tidak mendengar, melainkan memang tidak ada yang terdengar di RT kami.

Ya sudahlah, lupakan dulu perihal vaksin sambil menunggu kalau ada keajaiban. Seperti halnya anak kami yang akhirnya bisa dapat tiket vaksin melalaui kebaikan seorang teman istri yang dulu wali murid seorang anak anggota TNI. Seperti pemeo mengatakan, ”orang baik berteman dengan orang baik”. Maka, wong kang salih kumpulono.

Hari ini, 21 September, diperingati sebagai Hari Alzheimer Sedunia. Berarti saya disuntik vaksin #1 bersamaan dengan peringatan Hari Alzheimer Sedunia. Vaksinasi masal yang digalakkan pemerintah dimaksud untuk melindungi rakyat dari terifeksi virus Covid-19 yang sejak merebak pertama Maret 2020, sudah bermutasi ke berbagai varian baru.

Betapa mengerikan ancaman Covid-19 lebih-lebih varian barunya yang berjumlah 10, ALPHA/B117, BETA/B1351, GAMMA/P1, DELTA/B16172, EPSILON/B1427-B1429, ZETA/P2, ETA/B1525, THETA/P3, IOTA/B1526, KAPPA/B1617.1. Varian DELTA/B16172 merebak sejak Maret 2021 menjadi gelombang kedua di Indonesia, menelan banyak nyawa.  

Setiap oarng yang sudah disuntik vaksin, diharapkan akan terbentuk antibodi dalam tubuhnya. Antibodi ini sangat diperlukan oleh tubuh agar tidak mudah terinveksi virus. Dengan kata lain, antibodi bisa memperkuat daya tahan tubuh dari serangan virus. Kalaupun ada virus yang masuk ke dalam tubuh seseorang, antibodinya akan melakukan perlawanan.

Alzheimer umumnya akan menyerang orang yang berusia 65—85 tahun dengan tanda awal menurunnya daya ingat atau demensia (pikun) akibat melemahnya otak. Kalau penyakit yang dipicu infeksi bakteri atau virus masih bisa disembuhkan. Sebaliknya, pikun tak bisa disembuhkan. Hanya bisa dibantu dengan alat penguat indera dengar, dipasang di telinga.

Karena tak bisa diobati, yang mungkin dilakukan adalah upaya mencegah sejak dini dengan mengonsumsi makanan fermentasi. Salah satu makanan fermentasi yang akarab di masayarakat kita adalah tempe. Bahkan ada yang mengatakannya makanan rakyat kecil. Namun, ternyata khasiatnya bisa mencegah terjangkit penyakit alzheimer sejak dini.

Di seluruh dunia, menurut WHO ada 55 juta orang yang menderita demensia. Di Indonesia berdasar catatan tahun 2016 ada 1,2 juta orang penderita. Hal melegakan atau beruntungnya penyakit ini tidak menular atau menurun seperti halnya diabetes melitus. Sehingga upaya pencegahan sejak dini adalah jalan terbaik untuk tidak menjadi pikun di masa tua.

Kostumnya mengena nih, T-Shirt yang di bagian dadanya ada tulisan, ”if not now then when”, ”jika tidak sekarang lalu kapan”. Benar juga, vaksinasi masal ditujukan untuk menciptakan herd immunity (kekebalan komunal). Kalau tidak segera divaksin lalu kapan akan memperoleh antibodi untuk bisa berpartisipasi menciptakan kekebalan komunal tersebut.    


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...