Langsung ke konten utama

Dua Buku Tebu dan Budaya Literasi

Berapa buku tebu kira-kira dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram gula pasir. Dan berapa sendok gula perlu ditaburkan ke dalam segelas kopi atau teh agar mencapai kesempurnaan rasa manisnya. Kopi atau teh mungkin tidak tahu bahwa gula pasir penuh jasa bagi keduanya sehingga selalu dipesan suami kepada istri di pagi hari, atau pebecak bila istirahat di warung langganannya di pojok pasar. 

Dua gelas minuman merakyat –satu kopi dan satu teh– terhidang di hadapan kami berdua Udo Z. Karzi, untuk teman berbincang di ’kafe’ pojok Gang Catur Tunggal Jalan Teuku Cik Ditiro, Kemiling. Kami berdua memang tidak memperbincangkan perihal dua buku tebu atau dua gelas minuman yang sesekali kami dua seruput meningkahi obrolan biar terasa lebih hangat. Maklum pertemuan jelang siang itu membiaskan kangen mendalam karena lama disimpan.

Yang dibincangkan adalah perihal dua eksemplar buku yang saya pesan. Satu ’Rumah Berwarna Kunyit’ dan satu lagi ’Menulis Asyik.’ Yang pertama topik bahasannya seputar polemik kesenian, kesenimanan, dan lembaga seni (di) Lampung. Sedang yang kedua berupa kumpulan tulisan kolom di surat kabar, blog atau makalah yang disampaikan Udo Z. Karzi dalam berbagai acara atau kesempatan. Tak hanya itu, bualan pun menyasar gosip lain dan menyebut beberapa nama yang tulisannya terhimpun di buku pertama.
dari SMA mengakrabi Kompas dari black white hingga full color. ini foto HUT 50 Kompas (edisi emas) terbit 100 halaman
Dua buku tebu, mungkin tak akan memuaskan dahaga sesiapa yang mengunyah lalu melepahnya. Tapi bila ikut terpilin gilingan pabrik menjadi butiran gula pasir, pastilah cukup buat memaniskan segelas kopi. Dan segelas kopi itu bila dicecap ramai-ramai ala anak kost, bisa menyulap suasana kebersamaan terasa lebih kental walaupun ada yang lagi lesu karena catatan bon di warung terus menganak sungai menguntit nilai tukar rupiah terhadap dollar yang terus berubah.

Dua buku tebu, bila habis dikunyah sepah dibuang, mungkin ada yang merasa lega karena dahaga hilang terobati, atau mungkin justru semakin bertambah haus. Demikian juga ihwal dua eksemplar buku. Begitu habis dilahap, antara dua rasa yang dikecap, puas atau tidak. Lalu menyimpulkan penilaian bagus atau tidak. Kalau puas ya sudah berhenti, tapi kalau tidak justru membuat dahaga kian menyiksa minta dituntaskan. Ini juga tergantung, apakah hobi baca atau tidak.  

Sewaktu sekolah di Jogja, ada dua hobi yang saya akrabi. Pertama beli buku, kedua blusukan di Jalan Malioboro atau ke Shoping Center (pusat pedagang buku loak, yang kini diubah menjadi Taman Pintar). Waktu itu, mungkin beli koran Kompas suatu kemewahan bagi anak kost, saya hampir tiap hari beli terutama bila ada opini kolomnis beken seperti Arief Budiman, Christianto Wibisono, Frans Seda, Kwik Kian Gie, Mohammad Sadli, Emil Salim, Goenawan Mohamad, dll.

Kemudian, hobi juga memburu koran-koran edisi Minggu yang ada puisi atau cerpen, seperti Minggu Pagi, Masa Kini, Berita Nasional, Eksponen, Swadesi, Simponi, Sentana. Serta buletin kampus seperti Salman (ITB) dan Gelanggang (UGM), juga majalah Prisma, pokoknya rela jalan kaki jauh ke kios koran demi mendapatkan itu semua. Dari melahap bacaan ’berat’ semacam opini dan buku-buku anak kuliahan, membuat pola pikir saya yang masih SMA agak cepat dewasa dan mulai kritis. 

Masuk dunia perkuliahan, saya tertarik sok-sokan ikut nyumbang tulisan ke buletin kampus. Dari tulisan sederhana sampai yang cenderung kritis, semuanya ditampung. Identitas yang saya pakai bukan NIM tapi NIRM, sehingga hanya teman satu kelas yang kenal, sedang kelas lain penasaran menebak-tebak. Karena ada tulisan saya yang mengkritisi kebijakan kampus, saya dipanggil dosen. Mulanya sedikit was-was dan menyangka bakal kena sanksi, nggak tahunya diminta terlibat langsung mengelola buletin. O, alah, kirain…

Mulanya, rajin beli Kompas untuk dikliping opininya, koran Minggu untuk baca puisi dan cerpennya hanyalah sekadar memuaskan hobi. Tapi, akhirnya ada side effect yang saya peroleh, di samping dapat beberapa bundel kliping juga kemampuan menulis makin terasah. Judul demi judul puisi di buku harian saya kumpulkan jadilah manuskrip. Meski barangkali belum memenuhi kaidah puisi, setidaknya itulah penanda jejak literasi yang hingga kini saya setiai.

Membeli buku  di era saya SMA, dipastikan bisa memilih buku mana yang bagus dan pantas (sayang kalau tidak) dibeli. Karena waktu itu buku bebas dibaca mulai dari kata pengantar, daftar isi, sampai ke halaman di dalamnya. Kalau sekarang hampir semua buku begitu keluar dari percetakan/penerbit dalam keadaan disegel plastik. Praktis hanya bisa menebak isi buku dan menilai bagus tidaknya dari embel-embel best seller di sampul muka atau endors di sampul belakang. Sementara, sangat pantang bila menilai buku hanya dengan melihat covernya. Dont judge a book by its a cover!

Di satu sisi terkesan kontradiktif antara menggalakkan budaya literasi dengan keleluasaan mengakses buku yang dibatasi sekat berupa segel plastik di sampulnya. Sedang di sisi lain pesatnya gempuran teknologi informatika tak dapat dihindari. Tak hanya perangkat keras teknologi komunikasi (handphone), sosial media pun ikut mengiringi arus modernisasi. Itu semua menambah sepi pengunjung perpustakaan dan sunyinya ruang baca.

Kecepatan munculnya buku-buku baru akhirnya tak seimbang dengan tingkat pembelian oleh masyarakat. Harga buku yang semakin mahal karena komponen cetak dan penerbitannya yang memang tinggi, ditambah minat baca dan kesukaan membeli buku di kalangan masyarakat Indonesia masih rendah. Walau pun ada juga buku yang laris manis dan mengalami cetak ulang berkali-kali sehingga memosisikannya sebagai buku best seller.  

Padahal, hari ini, yang namanya menulis buku bukanlah sesuatu yang berat, pun dalam hal menerbitkannya. Maraknya self publishing adalah bentuk perlawanan terhadap congkaknya penerbit yang hanya mau menerbitkan buku para penulis yang sudah punya nama. Atau penulis yang selalu menelurkan buku-buku best seller. Hanya, kelemahan self publishing ada di segi penjualan buku, mau tidak mau kalau penerbitan mandiri penjualannya pun otomatis ditangani sendiri juga.

Bukan hanya self publishing, di Jogja ada MOCO yang bergerak dalam penerbitan buku digital berbasis aplikasi pada smartphone. Penerbitan di bawah bendera Aksaramaya.com dengan tagline Reading Socially ini mengusung visi: Membangun budaya membaca melalui teknologi digital dengan memanfaatkan media sosial. Dengan empat misi: 1) Melestarikan karya pustaka Nusantara dari kepunahan dengan melakukan konversi/digitalisasi. 2) Menjadikan kegiatan membaca lebih menyenangkan dengan mengintegrasikan beragam fitur social media. 3) Membuka akses membaca tanpa dibatasi ruang dan waktu melalui pemanfaatan teknologi. 4) Mendukung gaya hidup ramah lingkungan.

Kalau ada kegusaran para penulis dalam hal menerbitkan buku, mungkin bisa mencoba bergabung dengan MOCO untuk menerbitkan buku dalam bentuk e-book dan dijual secara online dalam platform MOCO. Hemm, bicara soal royalti jangan khawatir. Justru Aksaramaya menjanjikan royalti 25 persen sedangkan penerbit konvensional hanya 10 persen. Bila penulis punya kontribusi besar dalam promosi bukunya, bisa jadi akan memperoleh royalti lebih besar dari ketentuan.

Apa yang dikembangkan MOCO, merupakan sumbangsih dalam mendongkrak literasi melalui e-book atau e-pustaka karena budaya literasi masyarakat Indonesia tergolong rendah. Rendahnya minat atau budaya baca dipengaruhi pergeseran budaya masyarakat yang beralih kepada kesenangan terhadap media sosial. Jangankan perpustakaan, toko buku yang nyaman pun sepi pengunjung dan buku-buku baru dan bagus hanya teronggok bisu di rak pajangan.

Padahal bila dibandingkan antara jumlah perpustakaan yang tersebar di seluruh Indonesia sebanyak 2.585 dengan jumlah penduduk yang mencapai hampir 250 juta jiwa, tampak tidak sebanding. Untuk mengatasi ketimpangan itulah, maka sejak tahun lalu MOCO mengembangkan e-pustaka untuk memudahkan masyarakat memperoleh bahan bacaan yang bagus dengan mudah. Usaha MOCO ini memang mengadopsi apa yang sudah dilakukan di luar negeri. Hal ini memungkinkan karena bisa diakses melalui smartphone, tablet atau laptop. Sehingga, tinggal klik, buku yang akan dibaca serta merta terbuka di hadapan kita. Tanpa batas ruang dan waktu.

| Kacamata Zabidi Yakub | LAMPUNG EKSPRES | Sabtu, 12 September 2015 |

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

JULI

Bulan Juli lingsir ke ujung cakrawala, banyak momen penting yang ditinggalkannya. 23 Juli 2025 Perpustakaan Nasional Press (Perpusnas Press) RI merayakan HUT ke-6 bareng dengan peringatan Hari Anak Nasional. Di negara kita, HAN tanggal itu. Hari Anak diselenggarakan berbeda-beda di berbagai tempat di seluruh dunia. Ada Hari Anak Internasional diperingati setiap tanggal 1 Juni. Ada pula Hari Anak Universal, diperingati setiap tanggal 20 November. Negara lain pun memiliki hari anak sendiri-sendiri. Ilustrasi, kalender meja (picture: IStock) Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, akhirnya  menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. 13 tahun sastrawan dan seniman berjuang meraih pengakuan atau legalitas itu sejak kali pertama dideklarasikan di Pekanbaru. Adalah Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang menginisiasi deklarasi HPI bersama 40 sastrawan, seniman, dan budayawan dari berbagai daerah Indonesia. Deklarasi hari puisi Indonesia ...