Bahasa Daerah Kian Tersisih di Aceh
BANDA ACEH,
KOMPAS — Sebanyak 13 bahasa lokal dari sejumlah wilayah di Aceh mulai tersisih.
Hal itu akibat pemakaian bahasa Aceh pesisir yang lebih dominan sebagai bahasa
sehari-hari dibandingkan dengan bahasa lokal. Pemerintah perlu melestarikan
bahasa lokal dengan menjadikannya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum
pendidikan di Aceh.
Demikian
yang mengemuka dalam Pra Kongres Peradaban Aceh 2015 yang digelar di Banda
Aceh, Sabtu (26/9). Hadir dalam acara itu, antara lain Ketua Kongres Peradaban
Aceh Ahmad Farhan Hamid, Wali Naggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al-Haytar, dan
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Nazaruddin Sjamsuddin.
![]() |
Uniknya Pulau Simeulue, 1 pulau dengan 4 bahasa yang terancam hilang (foto: Abdul Hadi/acehkini) |
Pra Kongres Peradaban Aceh 2015 membahas penguatan bahasa-bahasa lokal di Aceh. Sudah terbentuk tiga komisi, yakni komisi kebijakan yang focus membuat kebijakab untuk penguatan bahasa lokal di Aceh, komisi produk yang focus membuat kamus bahasa lokal di Aceh, dan komisi tata bahasa yang fokus mengkaji bahasa lokal di Aceh. Semua itu akan dibahas mendalam saat Kongres Peradaban Aceh 2015 yang diselenggarakan pada Oktober nanti.
Hamid
mengatakan, 13 bahasa lokal di Aceh, yakni bahasa Aceh pesisir, bahasa Gayo,
bahasa Tamiang, bahasa Alas, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Singkil, bahasa
Sigulai, bahasa Devayan, bahasa Kluet, bahasa Haloban, bahasa Pakpak, bahasa
Nias, dan bahasa Lekon. Namun, pemakaian bahasa tersebut terbatas oleh
orang-orang lokal di daerah bersangkutan. ”Mirisnya, orang lokal pun mulai
berkurang dalam memakai bahasa lokalnya,” ujarnya.
Hamid
mekanjutkan, tersisihnya sejumlah bahasa lokal di Aceh disebabkan pemakaian
bahasa Aceh pesisir yang lebih berkembang ataupun dominan sebagai bahasa
sehari-hari. Kondisi itu turut dipengaruhi oleh faktor pemimpin di daerah dan
di provinsi yang mayoritas berasal darei Aceh pesisir. Di sisi lain, bahasa
lokal belum menjadi pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan di Aceh.
Kondisi itu
tidak sehat untuk perkembangan bahasa lokal di Aceh. Bahkan, bahasa lokal di Aceh bisa punah jika terus seperti itu.
kepunahan bahasa lokal sangat mungkin terjadi. Paling tidak, merujuk data Pusat
Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia, ada sekitar 719 bahasa lokal di
seluruh Indonesia, nomor dua terbanyak di dunia setelah Papua Niugini.
Setidaknya,
13 bahasa lokal telah punah, 75 bahasa lokal hampir punah, dan 268 bahasa lokal
terancam punah dari seluruh bahasa lokal yang ada di Indonesia. ”Jangan sampai
bahasa lokal di Aceh turut punah. Hal ini akan menjadi kerugian bagi perkembangan
peradaban dan kebudayaan di Aceh,” ucap Hamid.
Wali
Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al-Haytar menuturkan, kondisi itu sangat
memprihatinkan. Sebab, bahasa merupakan kebanggaan suatu daerah. Bahasa pun
sebagai alat pengingat jati diri dan pemersatu suatu daerah. ”Jika bahasa
hilang ataupun punah, hilang pula kebanggaan, pengingat jati diri, dan
pemersatu suatu daerah di Aceh,” katanya.
Karena itu,
Malik berharap pemerintah bisa melestarikan bahasa lokal. Salah satu upaya
adalah mendorong pemerintah membuat qanun atau aturan daerah untuk melestarikan
kembali bahasa lokal di Aceh. ”Minimal pemerintah harus memasukkan bahasa lokal
sebagai pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan di Aceh. Hal ini mendesak
agar generasi muda kenal, tahu, dan paham dengan bahasa lokal di Aceh,”
tuturnya.
Bahasa
merupakan cermin perkembangan peradaban masa lalu suatu bangsa atau daerah.
Jika bahasa tidak terjaga, hal itu menjadi degradasi peradaban suatu bangsa
atau daerah. ”Peradaban masa lalu merupakan cermin yang menentukan peradaban
masa kini dan masa depan. Jika peradaban masa lalu dilupakan, hal itu akan
menjadi kemunduran bagi peradaban di masa depan,” ujar Nazaruddin. (DRI)
Kompas, Minggu, 27 September 2015 | NUSANTARA | Halaman 10.
Komentar
Posting Komentar