Sajak-Sajak 1987
Sansai
Jalan Candi Badut, Malang, Medio April 1987
Interupsi
Malang, Mei 1987
Kutelusuri Lorong Hatimu
Malang, Mei 1987
andai sejuta kabut itu
tirai cakrawala Langit-Mu
adalah kepastian gugusan mega
untuk nanti pecah jadi hujan
di pelataran tanah merah-Mu
niscaya tanga-tangan segera tengadah
berebut panjatkan syukur
betapa lelah menanti anugerah
betapa sendu wajah menunggu
hasrat menggapai gugusan mega itu
jangan hanya terbentang di Langit-Mu
tercurahlah, luruhlah di bumi pijakan
tapi kabut-kabut itu
hanya menampak di angan harapan
Cakrawala-Mu begitu cerah
Udara Bumi-Mu begitu gerah
hasrat yang semula membara
malah terbakar lunglai
yang tinggal hanya mata menatap nanar
dan batin begitu kelu, rasa begitu sansai
Batu, Malang, Tahun Baru 1987
Kelabu
jemari lentik siapa
yang coba mengusik perhatian angin
mengajak singgah di beranda kelam
menyimak nada-nada falsetto
denting gitar yang tak pas setelannya
alangkah sendu itu lagu
tertegun aku dibuainya
hati siapa
yang tak gundah gulana
bila kekasih dicinta tak apel padanya
menghadirkan ceria lewat canda tawa
di malam Minggu sebagaimana biasanya
apa gerangan sebab, tanya pun berkelindan
hati siapa
yang tak berbunga-bunga
sejak sore mematut diri di depan kaca
merias wajah agar tampak rupawan
ketika nyatanya tak sia-sia ia ber-make-up
kekasih yang ditunggu hadir di muka pintu
hati siapa
yang tak begitu bahagia
duduk berbincang di sudut ruang
atau bersilang jemari jalan bergandengan
sepanjang koridor plaza menuju bioskop
nonton film dengan cerita percintaan semusim
sedang di kamar yang terkunci ini
hatiku kelabu dicekam rindu
rundung tanya menohok, menuding-tuding
mengapa kekasih tak datang apel padaku
jemukah dia akan rasa cinta
tercelakah diri ini, membuat daya tariknya
menipis
atau ada sikapku yang membuat hatinya tersakiti
oh, kekasih hati
jangan kau buat aku terpenjara dalam prasangka
dan hanya bisa meraba-raba perasaanmu
andai ada salahku yang begitu menyakitkan
hanya maafmu, penegas bahwa kau cinta aku
bila tak dengan kata-kata, isyarat cukup bagiku
perlihatkanlah isyarat itu lewat binar matamu
dan tentang aku, tak usah kau ragu
untukmu jua kusandarkan cinta
Malang, Sabtu larut malam, 4 April 1987
Serenada
Malam
ketika senja mulai jatuh
kekhawatiranku kembali mekar
teja merah pergi sambil terbahak
setelah aku gagal cekali pelangi
temaram pun tak berhasil kubujuk
untuk tinggal lebih lama lagi
menemaniku menghadang angin
semua bergegas menuju ufuknya
yang telah janjikan gending malam
tembang pangkur mengalun merdu
aku tinggal dipeluk resah
menunggu datangnya angin malam
untuk kuhadang lalu kucumbu
dalam gelap kamarku yang kecil
setelah neon duapuluh watt kumatikan
antara tembok kelam
dan detak jam yang begitu pelan
kugayutkan nyanyian, serenada malam
yang tak karuan reffreinnya
mengulang-ulang sepenggal bait
silih berganti, namun tak selesai utuh
sekian lagu, sekian irama
telah menguap dari celah bibirku
sekian ratus kata, sekian ribu aksara
kumuntahkan sampai aku lelah
aku lelah, aku pun tertidur
aku mimpi, aku mengigau
kuhisap kata, kuhirup aksara
kujilat liur yang basahi bantal
aku terbangun, aku tersadar
kucoba mengingat-ingat apa yang telah kualami
angin malam yang mestinya kuhadang
ternyata telah lama lewat sambil tertawa
sempat singgah, menelanjangiku
kini telah pergi seiring datangnya pagi
aku hanya terkesima, penuh kecewa
aku menanggung aib yang ditinggalkannya
Jalan Candi Badut, Malang, Medio April 1987
coba kau geraikan rambutmu, kasih
kan kuusapkan jemariku membelainya
agar aku dapat nikmati wanginya
coba kau rebah di pangkuanku, kasih
biar kusibak rambut yang luruh di dahimu
agar aku dapat mengelus keningmu
coba kau pandangi aku, kasih
agar dapat kutangkap dan kunikmati
sinar kasih yang memancar di matamu
coba kau rekahkan bibirmu, kasih
biar aku kecup dengan lembut
kita rasakan bersama manisnya cinta
kita nikmati bersama lezatnya cinta
Malang, Mei 1987
kutelusuri lorong hatimu
tingkapnya terkunci rapat sekali
kulihat ada luka menganga
buah dari putus cinta:
kau kini nampak begitu mawas diri
kutelusuri lorong hatimu
tingkapnya terbuka, menanti cinta
rupanya kau tak betah bersepi diri
tapi kenapa kau ragukan ketulusanku
ketika kupersembahkan sekuntum bunga
kutelusuri lorong hatimu
di tingkapnya yang terbuka lebar
kulihat dua asmara bertaut mesra
rupanya telah kau temukan kini
kekasih cendera mata idaman hati
kutelusuri lorong hatimu
kenapa tingkapnya kembali terkunci
rupanya sebuah kenyataan buka suara
ketika cintanya kau terima untuk bersemi
masih juga belum dapat tumbuh abadi
jadinya lukamu pun terkuak kembali
kutelusuri lorong hatimu
lukamu membuat jiwamu goncang
buah cinta yang belum matang
semakin membuatmu bimbang
antara berupaya mencoba mengkaji lagi
atau hanyut dalam kesendirian saja
mengungkung diri dalam bingkai hari
mengisi lembar-lembar sepi
yang terkoyak dari rangkaian waktu
dengan catatan duka dan dendam
yang membara dalam sekam hatimu
kutelusuri lorong hatimu
tidakkah telingamu tuli, matamu buta
andai kau tahu arti keseimbangan hidup
tentu jiwamu akan tetap tenang
andai kau tahu cara memetik hikmahnya
tentu sikapmu akan lebih dewasa
setiap keputusan mengandung kemungkinan
tepat memutuskan, kemungkinannya bagus
keputusan salah, risiko menanti di ujung
bagaimana agar lempang jalan dititi
harus dikaji secara teliti kemungkinan terbaik
tidak pula tepat berpasrah: ”bagaimana nanti”
dengan menghibur diri: ”yang penting dijalani”
Komentar
Posting Komentar