Langsung ke konten utama

Setelah Vaksin, Lalu

ilustrasi foto milik Medcom.id

Rabu, 6/10/2021, dua anak remaja yang biasa disuruh Pak RT menagih uang RKM dan Kas RT, keliling mendata warga yang sudah vaksin. Lalu dimintai fotokopi kartu vaksin. Saya pikir apa nggak keliru ini, kok yang didata warga yang sudah vaksin. Terus warga yang belum divaksin apa ceritanya.

Jawab saya, kartu vaksinnya belum dicetak. Besoknya seperti tidak patah semangat, keduanya kembali datang dan menanyakan fotokopi kartu vaksin. Kali ini istri saya yang menjawab belum difotokopi. Saya pikir besoknya akan datang lagi dan menanyakan kembali, ternyata tidak. Entah mengapa.

Saya baru disuntik vaksin dosis pertama, menunggu dosis kedua jelang akhir bulan ini. Lalu apa yang bisa difotokopi kalau kartunya belum saya cetak karena vaksinnya belum lengkap. Kalaupun sudah lengkap dan ada kartunya, barangkali tak akan semudah itu menyebarluaskan dokumen penting itu.

Jelaskan dulu apa kegunaan fotokopi kartu vaksin tersebut. Sebaiknya, janganlah menugaskan kepada anak remaja datang ke rumah-rumah warga. Pak RT sendiri kan lebih baik, kalau ada yang ditanyakan warga bisa dijawab langsung oleh Pak RT. Terjadi komunikasi dua arah, bisa dialog langsung.

Karena vaksin belum lengkap, saya belum mengunduh aplikasi PeduliLindungi. Menyangkut aplikasi ini, ada cerita menggelikan. Seorang kerabat yang baru vaksin pertama, namun oleh PeduliLindungi tercatat atau dicatat vaksin kedua. Artinya apa? teknologi ternyata tidak imun terhadap kesalahan.

Sebenarnya, menurut saya, yang kudu didata itu adalah warga yang belum divaksin. Lalu apa upaya Pak RT agar mereka bisa divaksin. Apakah lapor ke kelurahan atau puskesmas. Kemudian di mana mereka bisa divaksin, apakah diikutkan pada institusi tertentu yang memprogramkan vaksinasi masal.

Semakin mendekati akhir tahun 2021 ini, semakin banyak warga yang divaksin. Semakin mendekati percepatan tercapainya herd immunity (kekebalan komunal). Mal dan destinasi wisata sudah banyak yang dibuka, dengan prokes ketat. Punya kartu vaksin, aplikasi PeduliLindungi, dan memakai masker.

PPKM yang sempat menyandera perlahan dilonggarkan. Wilayah aglomerasi yang level 4 tinggal beberapa. Sudah banyak yang turun ke level 3. Pun yang level 3 turun ke level 2 dan yang level 2 turun ke level 1. Blitar menjadi daerah pertama level 1. Ujicoba normal seperti sebelum pandemi.

Di masjid tempat saya tinggal, Jumat pekan lalu semakin sedikit yang memakai masker. Semakin terasa menjadi warga minoritas. Sabtu keesokan harinya tak jauh dari rumah, di jalan depan eks kantor LAMPUNG NEWS digelar pesta pernikahan dengan tarup yang lumayan besar dan tamu undangan yang ramai.

Setelah vaksin, lalu terbit new normal. Protokol kesehatan ketat, terutama memakai masker tidak boleh kendor. Mengapa? Faktanya, pembelajaran tatap muka (PTM) yang dimulai dua pekan berlalu ternyata menjadi new cluster. Ratusan anak didik di sejumlah daerah nyatanya terpapar Covid-19.

Untuk menekan laju pertambahan jumlah orang terpapar Covid-19 di lingkup sekolah, vaksinasi anak didik telah dilakukan sejak sebelum PTM dimulai. Kalau ternyata kemudian masih ada yang terpapar, bisa jadi dari virus corona varian delta yang lebih ganas. Guru yang vaksin lengkap saja masih terpapar.

Bahkan di Jepang ada kasus tenaga kesehatan (perawat) terinfeksi Covid-19 satu minggu (6 hari) setelah vaksin pertama (Tribunnews.com, Selasa (6/4/2021). Kalaupun ada anggapan Covid-19 tak ubahnya penyakit flu biasa, namun vaksin tidak sama seperti minum obat flu yang bisa cepat menyembuhkan.

Jadi, wajar saja terinfeksi Covid-19 setelah vaksin lengkap (dua dosis) sekalipun, karena kekebalan tidak serta merta terbentuk begitu sesudah divaksin. Dibutuhkan waktu lama agar timbul kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin. Lain halnya sakit flu, bisa cepat sembuh hanya dengan minum obat flu.

Kena Covid-19 setelah vaksin, itu masuk kategori kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI). Setelah disuntik vaksin dosis pertama, seseorang baru akan mendapat respon awal kekebalan. Untuk bisa mendapat kekebalan sempurna, respon imun yang terbentuk harus diperkuat dengan vaksin kedua.

Setelah vaksin, lalu –belum sepenuhnya ada yang saya ketahui dengan jelas– terutama mengapa mencari tempat vaksin harus berjibaku. Banyak suara sumbang, kalau tidak ada ”orang dalam” susah mencari atau mendapatkan vaksin. Namun, yang punya kolega nakes, diberkahi banyak kemudahan.

Di WAG kerabat sebenarnya sudah ramai perbincangan di mana tempat vaksin. Kalau ada di antara anggota grup yang tahu mohon info. Sialnya, begitu sudah pada divaksin semua baru ada info kalau di antara mereka ada kolega yang dokter dan bisa melayani vaksin ke rumah untuk beberapa orang.

Aduh kemarin-kemarin kamu ke mana? Kok baru ngomong sekarang. Begitulah –maka, sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan–. Banyak orang yang tadinya mengalami kesulitan berliku-liku, akhirnya bisa dapat vaksin dengan kemudahan.

Sudah ada kemudahan, masih pula diberi peluang memilih mau vaksin merek apa. Setelah vaksin Sinovac dipergunakan pada tahap awal, kemudian masuk vaksin Sinopaharm, Moderna, Pfizer, AstraZeneca, Johnson & Johnson, dan Zifivac yang baru dapat izin penggunaan darurat dari BPOM.

Nah kolega mereka yang seorang dokter itu menyatakan bisa saja memilih vaksin Moderna dengan catatan nanti kalau tenaga kesehatan sudah vaksin dosis ketiga secara menyeluruh. Mengapa begitu? Karena vaksin Moderna hanya diperuntukkan khusus bagi tenaga kesehatan sebagai booster.

Memang sampai Oktober ini pun masih ada warga yang mendapat vaksin Sinovac, untuk menghabiskan sisa persediaan. Namun, di banyak tempat sudah ada yang disuntik vaksin Sinopharm, Moderna, AstraZeneca, Pfizer, Johnson & Johnson, dan lainnya. Artinya, semakin variatif merek vaksinnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...