Hijab Sebagai Pembeda

Judul tulisan ini pernah saya pakai untuk tulisan tentang Hari Hijab Sedunia, yang saya posting jadi Catatan di Facebook 1 Februai 2014. Hijab adalah pakaian yang diwajibkan bagi kaum muslimah, sebagaimana disyariatkan dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab (33) : 59 dan An-Nuur (24) : 31. Di sini Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk mengatakan kepada istri-istri dan anak-anak perempuan mereka, serta orang mukmin lainnya, ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal dan tidak diganggu.” Artinya, jilbab akan menonjolkan identitas kemuslimahan seorang perempuan.

Angelina Joli, tampak lebih cantik dengan balutan jilbab
Untuk mengenali identitas keislaman seseorang, salah satunya dengan melihat busana yang dia kenakan. Berhijab (menyempurnakan busana dengan jilbab atau kerudung), mudah mencirikan bahwa dia adalah wanita muslimah. Sementara, untuk kaum muslimin biasanya baju koko, peci/kopiah, dan sarung. Atau yang lebih mendekati tata cara busana ala Bangsa Arab, yaitu gamis dan sorban, serta memanjangkan janggut. Bahkan tren kemeja/hem lelaki sekarang ada yang mengadopsi baju koko di bagian kerahnya, sehingga mengesankan mengenakan baju koko meski tidak untuk ke masjid.
     
Di sebagian Negara Barat dan Eropa, mengenakan busana muslim dan berhijab, masih sulit diterima. Di Perancis secara terang-terangan ada sekolah yang tidak membolehkan siswinya mengenakan hijab. Ada semacam ketakutan terhadap Islam, seolah Islam itu radikal dan ekstrem. Berkembanglah apa yang disebut Islamophobia. Pandangan negatif terhadap Islam demikian justru menjadi tantangan untuk diusahakan mengikisnya. Dan, sedikit demi sedikit para pendakwah bisa menyelesaikannya dengan baik.

Lambat laun dengan semakin gencarnya jalan dakwah ditegakkan dan kian tersebarnya ajaran Islam serta terbukanya penerimaan sebagian warga Barat dan Eropa. Akhirnya terjadi perubahan yang signifikan. Terutama dirasakan umat muslim Amerika pascakejadian 11 September 2001 atau dikenal dengan tragedi menara kembar WTC. Umat muslim di Amerika saat itu menjadi sasaran akibat Islamophobia. Namun, pascakejadian tersebut, jumlah warga Amerika yang memutuskan masuk Islam justru semakin banyak.

Sejak itu, mengenakan hijab dan membuka Kitab Suci Alquran bagi kaum muslimah di tempat umum (keramaian) Amerika bukan lagi hal yang menakutkan. Justru kebiasaan itu banyak ditiru warga Amerika yang muallaf. Sejak kejadian Menara WTC itu, didorong rasa ingin tahu lebih dalam mengenai Islam, Alquran, dan buku-buku keislaman banyak diburu dan dibeli. Faktanya, setelah mereka menyerap makin dalam ajaran Islam, makin kokohlah keislaman mereka, dan kian ramai yang berhijrah menjadi muallaf.

Lain di Negara Barat dan Eropa, lain pula di Benua Australia. Aksi anti-Islam semakin marak di Negeri Kanguru tersebut. Pekan lalu, sekelompok orang berdemontrasi di jalan-jalan sejumlah kota Australia meneriakkan antisertifikasi halal, antihukum syariah, dan antiimigrasi Muslim. Bahkan demonstrasi tersebut menimbulkan kekerasan dan kericuhan di kota Melbourne dan Brisbane.

Dalam orasinya, seolah mereka kelompok superior. Itu tersirat dari rasisme yang ditunjukkan dalam demo sehingga menimbulkan kericuhan dan kekerasan. Apalagi bila dihubungkan dengan eksekusi mati terhadap Duo Bali Nine, pekan lalu. Walaupun Indonesia bukan Negara Syariah tapi konsekuensi untuk memberlakuan hukum syar’i kepada Duo Bali Nine, menimbulkan kebencian mereka terhadap Indonesia dan muslimin/muslimah asal Indonesia di Australia.

Meski demikian, karena hijab sebagai pembeda, tak ada kekhawatiran bagi para muslimah asal Indonesia di sana untuk tetap beraktivitas dengan mengenakan hijab. Lain halnya dengan warga Arab, Kedubes Arab Saudi mengirim email mengimbau untuk tidak mengenakan baju khas Arab agar tidak mencolok. Tapi, sekali lagi, karena hijab sebagai pembeda, tetap saja masih banyak mahasiswi warga Arab mengenakan hijab sewaktu kuliah dan ke tempat-tempat umum.

Sebagai penganut Agama Islam dan orang yang beriman, saya pikir, satu hal yang harus kita camkan, baik di Negara Barat atau Eropa maupun di Benua Australia, sekelompok orang yang phobia terhadap Islam, yang benci Islam, yang demo anti-Islam dan mencaci maki Islam begitu rasis, TIDAKLAH mewakili seluruh warga Negara Barat, Eropa, atau Australia. Mereka hanyalah secuil noktah yang menodai negara dan bangsanya sendiri. Membuat nama negaranya rusak seolah-olah anti-Islam.

Yang disebut Barat, apalagi yang sekuler-pragmatis-bebas, memang cenderung ekspresif dalam hal fanatisme buta atau sentimen tak berdasar. Kecenderungan seperti itu memang biasa terjadi. Dalam masalah apa pun selalu ada fenomena sosial yang ekspresif menyertainya. Sebuah anomali dalam bentuk lain. Dan, hanya dilakukan oleh sekelompok orang, sehingga tidak pada tempatnya kalau kita menggeneralisasi. Sekelompok orang itu hanyalah ”oknum” yang tidak bertanggung jawab. Hanya cari sensasi, atau boleh jadi hanya orang-orang yang tumbuh dan besar di jalan, dengan segala persoalannya.

Jadi, tak perlu panas hati menanggapinya dan menjalankan aksi balas dengan lebih rasis. Sebab, melakukan kekerasan itu bukanlah ajaran Islam. Islam itu Rahmatan Lil’alamin. Tunjukkanlah dengan cara menampakkan tingkah laku yang santun dan tutur kata lemah lembut. Niscaya mereka akan tersentuh relung rasanya. Tidak perlu terlalu overaktif, jangan radikal memberikan tanggapan. Cukup senyumin aja, bukankah senyum itu adalah sedekah. Kita senyum jadi sehat karena syaraf di sekitar wajah kita bergerak, eh dapat pahala pula karena bersedekah dengan murah meriah (hanya memberikan senyum).
   
10 Mei 2015

| Warahan | LAMPUNG EKSPRES | Senin, 11 Mei 2015 |

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan