Langsung ke konten utama

Berkah Pandemi

ilustrasi penjara (foto: iStockphoto

Narapidana yang dilepaskan itu, seperti diberkahi pandemi. Alasan Pak Menteri, untuk memutus mata rantai persebaran virus. Sejak dibebaskan hingga pengujung tahun, banyak hal terjadi. Ada yang kembali maksiat. Segala bentuk maksiat diperbuat, katanya, kembali ke habitat. Ada yang ingin meraih makrifat. Segala jalan menuju makrifat ditempuh, katanya, benar-benar tobat.

Yang kembali ke habitat, kelak balik lagi ke penjara. Tak ada urusan dengan pandemi, pokoknya kembali berbuatan kriminal. Masuk keluar penjara menjadi hobi seperti halnya mencopet, merampok, membegal, memerkosa. Paceklik dalam penjara cukup menyiksa. Dikeluarkan sama artinya dipersilahkan memanen tanaman yang menyemak ditinggal masuk penjara.

Tanaman menyemak itu, berbagai kantong uang yang dipercayakan kepada komplotan mengelolanya. Kantong-kantong kejahatan itu sudah terdeteksi. Identitas para bedebah itu sudah ’dikantongi’ polisi, walaupun berganti nama ’alias’ berkali-kali. Sekali mereka kembali beraksi, polisi siap menyergap. Meski mereka liat dan lihai, tetap saja bisa dibekuk aparat.

Yang ingin benar-benar tobat, kelak kemudian menuai hikmah. Kata siapa masuk penjara tidak memberi efek jera? Dibebaskan tak henti disyukuri. Sumpek di penjara begitu menyiksa. Dibebaskan sama artinya diberi udara lapang. Selama di penjara digerujuk siraman rohani. Keluar penjara, pulang ke jati diri. Pada dasarnya manusia itu baik, lingkungan yang merusaknya.

Lingkungan pengrusak itu, berbagai racun yang dicekokkan kawan, sengaja untuk menjerumuskan. Racun-racun itu, meski sedikit-sedikit, bila digauli terus menerus, membuat nagih. Lama-lama merusak moral, tanpa disadari. Dari yang berkadar rendah sampai over dosis, dari kenakalan biasa sampai yang menggiring ke penjara. Beruntung dipulangkan, bisa taubatan nasuha.

Pacitan, Kamis, 31 Desember 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...