Ramadan Berkemas Kemudian Pergi



/1/

Siang ini Ramadan berkemas. Hatiku cemas, pertanyaan melintas. Hendak ke manakah dia begitu gegas. Oh, ternyata dia akan pergi jauh, jauh sekali. Selama sebelas bulan ke depan dia hilang dari penglihatan, penghayatan rasa dan penggalian hakikat.


Aku menghitung waktu, sepuluh jari plus satu. Sebegitu lama aku harus menunggu agar bisa berjumpa kembali dengan Ramadan. Itu pun kalau masih ada kesempatan bagiku untuk dipertemukan dengannya.


Usai Magrib, Ramadan pun melangkah pergi. Tak hanya aku, ditinggalkannya semua orang yang telah menyambutnya. Yang telah memuliakan kedudukannya yang lebih agung daripada sebelas bulan teman-temannya.


Aku tak bisa mencegah, langkahnya bulat lekas berangkat. Sudah habis waktu baginya untuk hadir. Tak hanya di rumahku tapi rumah semua orang yang menyambutnya. Yang menghiasi malam-malamnya dengan menggiatkan qiyamul-lail.


Esok hari, Ramadan tinggal kenangan. Bagi yang sabar dan tawakkal mengakrabi kehadirannya, akan terasa sepi tanpanya. Bagi yang gembira menyambut kedatangannya, akan terbit rindu bercengkerama lagi dengannya.


Aku tak memungkiri, nuansa Ramadan terasa benar berbeda dengan sebelas bulan teman-temannya. Hari-hari yang akan kulalui bakal berubah setelah kepergiannya. Di masjid-masjid hanya akan ada salat Magrib dan Isya. Tanpa disertai Tarawih dan lantunan murotal orang mengaji.


Mulai esok petang, tak ada lagi hiruk pikuk lalu-lalang di jalan. Penjaja takjil menggulung terpal untuk kembali disimpan. Kerumunan orang yang berburu santapan berbuka seketika hilang dari pandangan. Yang ada hanya lapak-lapak dingin ditinggalkan dan jalanan lengang.


/2/

Setiap yang pergi, akan ada suasana lain bagi yang ditinggalkan. Sejak kepergian Ramadan, duka terpatri di rongga dada. Rasa kehilangan tak kuasa disembunyikan. Pahit dan getir akan datang silih berganti. Betapa dalam pahatan kesedihan ditinggalkan.


Setiap keasingan, akan ada getar lain yang memasygulkan. Sejak Ramadan pergi, suasana sedih merambati ulu hati. Usaha mengembangkan senyum sebagai penawar tangis. Tetap saja air mata memutik di telaga luh yang rapuh, betapa payah menahan jatuhnya. Sebab, Bumi pun menangis.


Setiap keberanian, akan ada perasaan bimbang mengusik nyali. Sejak Ramadan pergi, kesanggupan mengikhlaskannya dicegat ragu. Berkali menabahkan diri tetap saja aura sedih tak mampu menyangkal kenyataan, siapa pun takut ditinggalkan.


Setiap kesabaran, akan ada sangsi pada keyakinan. Sejak Ramadan pergi, tanya mengendap di benak. Akankah Tuhan memberi kesempatan menjumpainya kembali, setelah tabah mencekal waktu dalam sebelas bulan menanggung harap berbalut doa.


Setiap keikhlasan melepas, akan ada hadiah terindah. Sejak Ramadan pergi, pembelajaran berharga yang bisa dipetik adalah dia mengajarkan indahnya berbagi. Sebulan membersamainya, ujian terbesar adalah betapa berat menahan godaan.


Setiap kesanggupan menahan, akan ada perjuangan panjang. Sejak Ramadan pergi, banyak perasaan menghiasi dinding hati manusia. Ada yang gembira membiarkannya pergi karena yakin tahun depan kembali bertemu. Ada yang sedih lantaran takut ini Ramadan terakhirnya.


Setiap keyakinan, akan ada dalil pembenar jadi pedoman. Sejak Ramadan pergi, mereka yang percaya bakal kembali bertemu akan ikhlas ditinggalkan. Yang takut tak lagi bakal bertemu akan dihantui rasa bersalah mengapa menyia-nyiakan kedatangannya. Mengapa tak memuliakannya seperti tamu. 


n Bandarlampung, 23 Juni 2017 M / 28 Ramadan 1438 H



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan