Lampung Kini Berusia 51 Tahun
/1/
PROVINSI Lampung lahir pada
tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964
yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi
Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan.
Tatkala Banten di bawah pimpinan
Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683) Banten berhasil menjadi pusat perdagangan
yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatera dan Maluku. Sultan Agung ini
dalam upaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten mendapat hambatan karena
dihalang-halangi VOC yang bercokol di Batavia. Putra Sultan Agung Tirtayasa
yang bernama Sultan Haji diserahi tugas untuk menggantikan kedudukan mahkota
kesultanan Banten.
Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo dan Wakil Gubernur Bakhtiar Basri saat diarak secara adat |
Dari perundingan-perundingan
antara VOC dengan Sultan Haji menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji
tertanggal 27 Agustus 1682 yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat
itu pengawasan perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh
Sultan Banten kepada VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah
Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682
iring-iringan armada VOC dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini
dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia
mewakili Sultan Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak
berhasil dan ia tidak mendapatkan lada yag dicari-carinya. Agaknya perdagangan
langsung antara VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena
ternyata tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada
kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan kompeni, tetapi banyak yang masih
mengakui Sultan Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni
tetap sebagai musuh.
Sementara itu timbul keragu-raguan
dari VOC apakah benar Lampung berada di bawah Kekuasaan Sultan Banten, kemudian
baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidak mutlak.
/2/
PENEMPATAN wakil-wakil Sultan
Banten di Lampung yang disebut ”Jenang” atau kadang-kadang disebut Gubernur
hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi (lada).
Sedangkan penguasa-penguasa
Lampung asli yang terpencar-pencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut ”Adipati”
secara hirarkis tidak berada di bawah koordinasi penguasaan Jenang/Gubernur.
Jadi penguasaan Sultan Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja
dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi terutama lada,
dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling
membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles
berkuasa pada tahun 1811 ia menduduki daerah Semangka dan tidak mau melepaskan
daerah Lampung kepada Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah
jajahan Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun
1829 ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.
– POTONG NASI TUMPENG –
Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo sedang
memotong nasi tumpeng pada acara peringatan HUT ke-51 Provinsi Lampung, Rabu (18/3) – FOTO: LAMPUNG EKSPRES/ARLIYUS_RAHMAN |
Radin Inten memperoleh bantuan
keuangan dari Belanda sebesar f.1.200 setahun. Kedua saudara Radin Inten
masing-masing akan memperoleh bantuan pula sebesar f.600 tiap tahun. Radin
Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa yang
sampai saat itu berada di bawah pengaruhnya.
Tetapi persetujuan itu tidak
pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan-perlawanan
terhadap Belanda. Oleh karena itu pada tahun 1825 Belanda memerintahkan
Leliever untuk menangkap Radin Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat
menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya. Akan tetapi
karena pada saat itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830),
maka Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu. Tahun 1825
Radin Inten meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba Kusuma.
Setelah Perang Diponegoro selesai
pada tahun 1830 Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di daerah Semangka, kemudian
pada tahun 1833 Belanda menyerbu benteng Radin Imba Kusuma, tetapi tidak
berhasil mendudukinya. Baru pada tahun 1834 setelah Asisten Residen diganti
oleh perwira militer Belanda dan dengan kekuasaan penuh, maka Benteng Radin
Imba Kusuma berhasil dikuasai.
Radin Imba Kusuma menyingkir ke
daerah Lingga, namun penduduk daerah Lingga ini menangkapnya dan menyerahkan
kepada Belanda. Radin Imba Kusuma kemudian dibuang ke Pulau Timor.
/3/
DALAM pada itu rakyat di pedalaman
tetap melakukan perlawanan, ”Jalan Halus” dari Belanda dengan memberikan
hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak
membawa hasil. Belanda tetap merasa tidak aman, sehingga Belanda membentuk
tentara sewaan yang terdiri dari orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi
kepentingan-kepentingan Belanda di daerah Telukbetung dan sekitarnya.
Sejak itu Belanda mulai leluasa
menancapkan kakinya di daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan yaitu
penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit. Untuk
kepentingan-kepentingan pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu maka tahun 1913
dibangun jalan kereta api dari Telukbetung menuju Palembang.
Hingga menjelang Indonesia merdeka
tanggal 17 Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung
tidak ketinggalan ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan
melawan penindasan penjajah yang silih berganti. Sehingga pada akhirnya sebagai
mana dikemukakan pada awal uraian ini pada tahun 1964 Keresidenan Lampung
ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Lampung.
Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.
Komentar
Posting Komentar