Ada Tangis Tertahan di Pemakaman
![]() |
tempat pemakaman umum bukit kemiling permai (foto: koleksi pribadi) |
”Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang… seperti dunia dalam pasar malam… Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana….” –Pramudya Ananta Toer
Pagi belum terlalu tinggi, dari TOA masjid yang sedikit loyo dikabarkan seorang ibu kembali pulang. Baru saja, pagi itu juga. Bahkan putrinya sudah berangkat ke tempat kerja, mungkin sedang di jalan dengan sepeda motornya. Dikabari ibunya berpulang, dia pun putar balik pulang ke rumah.
Posisi ibunya memang sedang di rumah sakit. Dilarikan ke rumah sakit pada malam harinya setelah gula darahnya meningkat. Itulah sebab sang putri masih beraktivitas seperti biasa. Tetapi, sepertinya bersamaan waktu dengannya berangkat kerja, sang ibu juga berangkat ke Haribaan-Nya.
Warga perumahan satu blok pada melayat. Bapak, ibu, dan dewasa berkumpul di jalan depan rumah sahibul musibah. Saya pun hadir bergantian dengan istri, sesudah dia pulang gantian saya yang ke rumah duka. Semua pelayat menunggu waktu untuk menyalatkan jenazah di masjid.
Hingga pukul 10:30 belum ada tanda-tanda kerandanya segera digotong ke masjid, saya cabut pulang dulu. Kebetulan dekat, sahibul musibah di RT sebelah. Kebetulan juga saya belum mandi karena saban hari terbiasa mandi di waktu dekat-dekat zuhur sekalian salat dhuha dahulu.
Sesudah mandi dan dhuha saya ngaso sejenak. Tak lama azan zuhur berkumandang, saya ke masjid. Jenazah almarhumah sudah standby untuk disalatkan. Lumayan ramai yang menyalatkannya, lima shaf. Kalau sekira satu shaf ada 20 orang berarti 100-an orang yang menyalatkannya.
Usai menyaalatkan, sebagian pelayat berlanjut mengantar ke tempat peristirahatan terakhirnya. Sebagian lain pulang, terutama pelayat dari luar komplek perumahan seperti teman kerja sang suami dan juga teman kerja anaknya. Jalan ke pemakaman baru saja diaspal, mulus.
Sejak dari masjid saya lihat putri almarhumah bersimbah air mata. Luar biasa sedih yang dia rasa manakala sang ibunda pergi secepat itu. Walaupun usianya sudah cukup dewasa, di kisaran umur 24 tahun. Tetapi, air mukanya menyiratkan seperti belum siap menerima kenyataan.
Sampai pemakaman pun saya lihat sang putri ini terus berurai air mata. Tangannya tak henti menyekakan tisu ke matanya yang sembab. Lebih-lebih setelah papan pelapis makam menutup liang lahad dan tanah perlahan ditimbunkan hingga sosok jasad ibunya tak terlihat lagi.
Sang suami pun yang semula sempat mengayunkan cangkul mengurugkan tanah ke lubang makam istrinya, akhirnya sempoyongan lemah nyaris ambruk kalau tidak segera dipapah dan didudukkan di sisi makam. Tak hanya putrinya, sang suami pun tak berdaya untuk kehilangan belahan jiwa.
Yang terlihat sedikit tegar adalah putra sulung almarhumah. Sempat sebentar membantu petugas makam mencangkulkan tanah untuk diurugkan ke makam ibunya. Tetapi, tampak di muka belum tentu sama dengan yang ia rasa di kedalaman hati kecilnya. Ibu kok secepat itu pulang.
Tangis Tertahan
di Makam
Menyaksikan langsung kesedihan yang mendalam pada sang putri dan sang suami almarhumah, lebih-lebih saya lihat roman muka para pelayat terutama ibu-ibu seperti menahan tangis, tak urung membuat mata saya ikut sembab. Ada tangis tertahan di pemakaman, agar tak tumpah.
Bakda isya jamaah masjid berduyun ke rumah duka untuk takziyah. Di luar, bagian depan rumah, kursi yang disediakan telah diduduki para pentakziyah, saya pun ikut ustaz masuk ke dalam rumah. Belum lagi doa selesai dipanjatkan, di ruang dalam ada ”kesibukan kecil” para ibu-ibu muda.
Meski dari posisi tempat duduk saya yang menghadap ke bagian ruang dalam bisa melihat, tetap saya tak tahu persis apa yang terjadi. Tetapi, sepertinya ada yang pingsan dan sedang mereka berikan upaya pertolongan atau pengobatan. Dikipasi dan mungkin diolesi minyak angin.
Saya membatin mungkin sang putri yang pingsan tersebut. Sang putri yang kehilangan seorang ibu yang menyayanginya. Meski usianya cukup dewasa. Namun, belum terlampau mampu menahan beban psikologis. Tentu saja dia syok berat menghadapi kenyataan yang tetiba terjadi.
Sang putri ini seumuran dengan putra ragil saya. Dari TK hingga SD mereka bareng, menginjak bangku sekolah lanjutan mereka berbeda SMP dan SMA. Dan barangkali sejak perpisahan di SD itu mereka sesama teman satu angkatan belum pernah bertemu lagi atau mengadakan reuni. Tetapi, entah juga.
Antarmereka yang sama-sama berkuliah di Lampung barang tentu masih sering ketemu satu dengan yang lain. Lain cerita memang putra saya karena kuliah di Jogja praktis hanya pulang pas libur semester atau saat mudik lebaran. Barangkali ada juga momen mereka bertemu dan saling sapa say hello.
Di era WhatsApp ini, meski tak ketemu muka toh masih bisa saling sapa, senda gurau melalui gadget. Selama ada kuota data dan tak butut sinyal, jangankan antarpulau bahkan beda benua pun setiap orang bisa saling tersambung komunikasi. Baik antarpersonal maupun komunal dalam WAG.
Hasil pemikiran sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang saya kutipkan di bagian awal tulisan ini, terdapat dalam roman Bukan Pasar Malam. Menegasikan bahwa saat lahir ke dunia yang fana dan kembali pulang ke Pangkuan Tuhan, ke alam baka, manusia bisanya sendiri-sendiri.
Hanya pergi ke masjid untuk menyalatkan dan mengantarkan ke pemakaman yang bisa berduyun-duyun. Jenazah yang diantar tak tahu berapa banyak orang yang berduyun-duyun ke pemakaman. Yang berduyun-duyun takziyah memanjatkan doa agar diampuni dosa dan jembar alam kuburnya.
Roman Bukan Pasar Malam mengisahkan seorang anak revolusi yang pulang kampung karena ayahandanya jatuh sakit. Pesan moralnya bagaimanapun kaya dan jayanya seseorang pada akhirnya loyo ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari: maut yang menguntit kehidupan.
Komentar
Posting Komentar