Langsung ke konten utama

SAMPIAN

Buku SAMPIAN, Antologi Puisi Dwibahasa Lampung-Indonesia. (foto koleksi pribadi)

Bukan main lama menunggu buku bagus ini sampai ke tangan kemudian menimang-nimangnya dalam genggaman. Produksinya lebih lama dari proses seorang ibu hamil lalu melahirkan bayinya. Setelah terbit baru ngeh ternyata harus diterjemahkan sehingga menjadi dwibahasa (Lampung-Indonesia). 


peserta diskusi buku (Farida Ariyani, Iwan Nurdaja-Djafar, Udo Z. Karzi) didampingi moderator Yuli Nugrahani.

Dibutuhkan waktu satu tahun menanti, dua buku hasil sayembara Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) ditaja tahun 2021, diluncurkan  juga akhirnya, Jumat, 2 Desember 2022. Jalan Sastra Lampung, memuat 25 esai sastra dan Sampian, 50 puisi dwibahasa (Lampung dan Indonesia).

Ketua Akademi Lampung, Ir. Anshori Djausal, M.T. membacakan puisi Bupengatu di Bulan Bara

Sebelum peluncuran buku resmi dihelat, sehari sebelumnya digelar lomba baca puisi bahasa Lampung yang puisinya ada di buku Sampian. Lumayan antusias, dari 39 orang pendaftar ada 28 peserta yang hadir baik membacakan karya sendiri maupun karya penulis puisi lainnya.

Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Kebudayaan Lampung,
Dr. Farida Ariyani, M.Pd., membacakan puisi Sutera Jadi Ampin.

Yang membacakan karya sendiri tentu merupakan peserta sayembara menulis puisi berbahasa Lampung yang ditaja DKL. Sebagai pencipta tentu paham amanat yang akan disampaikan puisinya, paham juga tekanan-tekanan nada suara dalam membacakannya. Bahkan atraktif gayanya.

Saya menyimak satu per satu peserta yang tampil. Saya juga penuh debar menunggu adakah atau siapakah yang akan membacakan puisi Sampian. Ternyata hingga peserta terakhir yang datang menyusul karena telat hadir, tak satu pun membaca Sampian. Apa pasal tak ada yang membacakan.

Ketua Dewan Kesenian Lampung, Prof. Dr. Satria Bangsawan, S.E., M.Si., juga diminta MC untuk membacakan salah satu puisi yang ada di buku Sampian. 

Di Hari-H peluncuran buku, masih ada peserta lomba baca puisi bahasa Lampung yang kemarinnya beradu keterampilan, kembali naik panggung membaca lagi puisi yang ada di buku Sampian. Realitas betapa antusiasnya mereka mengakrabi bahasa Lampung. Walaupun tak sepenuhnya menguasai bahasa itu.

Di Hari-H peluncuran buku, akhirnya dibacakan juga puisi Sampian. Ya, saya sendiri yang manggung membacakannya. Seperti yang Bang Anshori Djausal katakan, puisi Sampian adalah sindiran bagi manusia untuk lebih konsisten dalam menjalankan kehidupan. Saling mengait, mengikat, dan memberi manfaat. 

puncak kenikmatan adalah foto bareng

Kalau dalam kehidupan manusia bisa menjalankan peran masing-masing sesuai tupoksinya seperti sampian dan bukara basoh, tentu tidak akan terjadi konflik kepentingan. Terbuat dari bahan apa pun, sampian tetap berfungsi sama untuk mengeringkan pakaian usai dicuci, pasrah hingga mengering.

Bukara basoh pun tak boleh jumawa. Tak berhak pilih-pilih di sampian mana hendak digantungkan. Pasrah pada kehendak majikan yang menggantungkannya. Barangkali dikelompokkan sesuai jenis, Atau suka-suka majikan menggantungkannya di mana pun. Bukara basoh takkan berkonflik satu dengan lainnya.

 

*) sampian (bhs. Lpg) = tali jemuran

*) bukara basoh (bhs. Lpg) = pakaian basah (setelah dicuci)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...