Jalan Sastra Lampung
![]() |
Buku Jalan Sastra Lampung (foto koleksi pribadi) |
Sejak diluncurkan Jumat (2/12/2022),
butuh dua pekan saya merampungkan membaca buku ini. Baru senja kemarin selesai
membaca semua esai di dalamnya. Buku ini hanya jadi pengisi senja berteman
secangkir kopi.
Hanya
pengisi senja, tak menjadikannya bacaan utama. Ada bacaan lain, terutama yang
berseliweran di platform media sosial yang aplikasinya tertanam di halaman
gawai. Silih berganti menelusup mencandai.
Setelah
rampung membaca semua sesuai urutan dari awal hingga akhir. Kesan awal, pada
umumnya ”lari jauh” meninggalkan tema dan aturan. Aturan semula, panjang
tulisan 12.000 – 15.000 karakter termasuk spasi.
Nyatanya,
pada melesat melampaui jumlah itu. Panjang esai saya persis 15.000 karakter.
Agak masygul manakala mencermati esai lainnya ternyata lebih panjang dari itu.
Pengin misuh, piye. Masa iya misuh, siiih.
Ya,
sekadar masygul. Kalau boleh melanggar ya tentunya saya pengin tulisan lebih
panjang dari itu biar lebih menguliti tema yang ditetapkan. Tapi, 15.000
karakter pun cukup memadai. Apalagi menang harapan dua.
Tema yang
ditetapkan panitia memang bebas, namun terkait sastra dan sastrawan di
Lampung. Lho kok ada yang berpanjang bahas literasi. Ngalor ngidul bicara budaya, bukan aspek sastra(wan) Lampung thok.
Walaupun
literasi sangat dibutuhkan mengingat menurut data statistik UNESCO peringkat
literasi Indonesia di tingkat 62 dari 70 negara atau di bawah Thailand. Tapi,
ini kan sayembara. Mbok ya taatilah temanya.
Negeri
ujung pulau atau negeri para penyair adalah julukan yang keren. Tapi, betapa
berat menyandangnya. Upaya pemertahanan dan menjaga keberlangsungan julukan itu
perlu kesadaran bersama semua pihak.
Jauh
sebelum pandemi Covid-19, geliat sastra(wan) di Bumi Lada ini berjalan lumayan
masif. Ada komunitas puisi jalanan, membaca atau memparadekan puisi di jalan
dan pasar, cukup mendapat apresiasi masyarakat.
Mengetahui
kegiatan sastrawan di Lampung, sejauh apa upaya mereka berkhidmat merawat
julukan negeri para penyair yang identik betapa pesatnya perkembangan sastra di
Lampung, tentu melalui media cetak.
Pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Lanskap media berubah dari media cetak ke media online. Jangankan bicara tiras, jumlah halaman koran pun menyusut. Halaman sastra (puisi, cerpen, dan esai) pun tergerus.
Nah,
dengan dilahirkannya buku SAMPIAN dan Jalan Sastra
Lampung ini diharapkan puisi bahasa Lampung ke depan makin
diperhatikan dan diminati, terutama oleh mahasiswa S1 dan S2 Prodi Bahasa
Lampung Unila.
Perihal
menulis sastra Lampung dan menerbitkannya dalam bentuk buku bukanlah pekerjaan
mudah. Jangan pula dianggap perbuatan sesia. Kalau memang memiliki kepedulian
tentu harus berani melakukannya.
Kepedulian
tentu harus dikembalikan ke soal pokok, perhatian dan minat mahasiswa S1 dan S2
Prodi bahasa Lampung Unila. Akankah buku SAMPIAN dan Jalan Sastra Lampung ini jadi momentum? Semoga saja iya.
Komentar
Posting Komentar