Langsung ke konten utama

Maka, Nikmat Tuhanmu

sejenak selfi di sebuah lukisan salah satu dari 70 perupa yang berpameran di gedung DKL. 

Hari Senin, 26/9/2022 siang tadi saya tampil membaca puisi bahasa Lampung di panggung lantai dua gedung Dewan Kesenian Lampung di PKOR Wayhalim, Bandar Lampung.

Kemarin saya sudah siapkan tiga puisi Ngeba Riya, Kerajaan Rantau Nipis, dan Kera Ui. Namun, pagi ada #PejabatLaknat di Twitter. Saya jadi teringat pusi berjudul Pejabat Gayah.

Saya lalu menyiapkan pdf puisi tersebut untuk alternatif pilihan. Sesampai di lokasi acara, kembali saya buka hp memantau sejauh apa perkembangan tagar tersebut di Twitter.

Tatkala buka IG, melintas IG Lampung Geh News, Aduh, ada demo guru-guru P3K Kota Bandar Lampung di Kopi Joni milik Hotman Paris Hutapea di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Kepada Bang Hotman mereka mengadukan bahwa gaji mereka selama bekerja 9 bulan belum dibayar. Wah, mantap kali ini. Sebaiknya puisi Pejabat Gayah saja yang saya bacakan.

Kenapa? Konteksnya ada kesesuaian dengan kondisi terkini menjelang hajat pesta demokrasi tahun 2024. Billboard kampanye mereka yang kebelet jadi presiden mulai muncul.

Saat puisi saya ciptakan tahun 2013, suhu politik jelang pilwako tahun 2015 sudah mulai mendidih dan memanaskan energi persaingan di antara kandidat dan petahana Wali Kota.

Puisi Pejabat Gayah menggambarkan pejabat yang tamak (kelalah, lp), ambisius mengejar jabatan yang lebih tinggi sementara jabatan yang diemban tidak dilaksanakan dengan baik.

Memobilisasi Pol PP untuk menggusur PKL. Area bekas PKL diberdayakan jadi lahan parkir. Retribusi parkir berapa yang disetor ke kas negara, berapa nyelinap ke kantong safari oknum.

Kenapa guru-guru P3K Kota Bandar Lampung sampai harus curcol ke Bang Hotman? Tentu karena saking kesalnya menunggu hasil kerja berkeringat mereka kok nggak dihargai, nggak dibayar.

Setelah video demo itu viral, muncul bermacam statemen pejabat terkait. Kadisdik bilang gaji sudah dibayar melalui penggunaan dana BOS. Sementara Sekkot membenarkan belum dibayar.

Mengutif IG Lampung Geh News, alasan Sekkot karena belum ada sinkronisasi secara keseluruhan antara pusat dan daerah. Kan terkesan antarpejabat saling adu statemen yang mek jelas.

Fenomena saling lempar tanggung jawab jamak terjadi di mana pun di negara plus enam dua (+62) ini. Persis seperti yang tergambar dalam puisi Pejabat Gayah yang saya baca siang tadi.

Salut buat Bang Hotman yang memberi garansi terhadap guru-guru yang demo. Apabila mereka diberi sanksi, misal diberhentikan, maka akan berhadapan dengan Bang Hotman. Mantap, Bang.

foto hasil bidikan jarak jauh ketua komite sastra DKL yang tayang di IG @zulzetazza

Fenomena pejabat yang wanprestasi terhadap janji-janji untuk menyejahterakan jamak terjadi di mana-mana. Seakan sudah jadi hukum alam dan standard baku, lupa akan janji yang diucapkan.

Manis kata yang diucapkan saat kampanye tak ubahnya nektar kembang yang memperdaya kumbang untuk datang menghisapnya. Janji kampanye yang absurd justru menyihir pendukung.

Hey para pejabat, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan. Tak adakah secuil niat baik di lubuk hatimu untuk memuliakan wargamu, rakyatmu, masyarakatmu, para pemilihmu.

Lupakahkah kamu dahulu mulutmu berbuih-buih kampanye mengemis dukungan, hak suara, hak pilih wargamu, rakyatmu, masyarakatmu untuk mendukung dan memilihmu jadi pejabat.

Setelah kamu berhasil duduk di singgasana kekuasaan ternyata kamu bukannya membalas budi atas kebaikan wargamu, rakyatmu, masyarakatmu dengan berbuat baik kepada mereka.

Yang terjadi justru kamu aniaya mereka dengan menyia-nyiakan hak mereka. Di luar dugaan kamu akan menjelma menjadi pejabat gayah, kelalah di jabatan. Naïf kali apa yang kamu lakukan.

Dengan menunggangi kekuasaan yang disampirkan wargamu, rakyatmu, masyarakatmu di pundakmu, kamu kuasa berbuat sesuka hatimu. Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...