Langsung ke konten utama

Setia Mengabdi

Pada masanya dulu, angkutan kota (angkot) menjadi ”raja jalanan”  beradu cepat satu dengan yang lain, berebut penumpang. Keluar kandang dari subuh buta dan baru kembali ngandang hampir tengah malam. Itu rutinitas kerja para supir angkot. Demi apa? Demi setoran ke pemilik angkot. Banyaknya angkot yang melaju di jalanan, tentu saja membuat sedikitnya penghasilan para supir. Setelah dikurangi setoran dan mengisi penuh tanki BBM, acapkali hasil yang mereka bawa pulang hanya cukup untuk mengebulkan dapur satu hari, hampir tak ada yang bisa disisihkan untuk ditabung. Demi merebut simpati penumpang, angkot menghias diri dengan asesoris menarik dan raung musik cadas yang menggelegar memekakkan telinga.

Kini, di tengah majunya teknologi, ternyata masih ada satu dua angkot beroperasi, mengejar peruntungan nasib. Adakah penumpang yang masih sudi menggunakan jasa angkot? Masih ada satu dua. Selebihnya, penumpang tinggal memesan taksi online lewat aplikasi di gadget. Menggunakan taksi online, kelebihannya tidak kepanasan seperti naik angkot. Bahkan udara sejuk semriwing dan disuguhi musik yang lembut, tidak memekakkan telinga. Tentu, kelebihan itu harus dibayar dengan tarif tertentu (sesuai jarak tempuh). Sesuai regulasi pemerintah dan aturan dari operator penyeleggara taksi online. Kepuasan akan tetapi tentu seimbang pula. Penumpang akan diantar dari titik penjemputan hingga alamat tujuan. Nyaman deh

Sosok angkot jurusan Terminal Rajabasa-Tanjungkarang (warna biru), terekam di jalanan depan Bandarlampung Mal (Ramayana Pasar Bawah), pada Sabtu (15/8/2020) siang, melaju santuy. Adakah penumpang ”terjebak panasnya udara” di dalamnya? Entahlah! Yang jelas, tak ada lagi joki yang teriak-teriak ”rajabasa, rajabasa, rajabasa,...” menawarkannya kepada calon penumpang. Tak juga oleh kernet atau supirnya. Semua berjalan begitu apa adanya, dengan kepasrahan yang tinggi, setia mengabdi bagi Ibu Pertiwi. Alhasil, pada akhirnya pekerjaan sebagai joki pencari calon penumpang, kernet, dan supir angkot, tidak lagi menjanjikan untuk terus digeluti, seiring hadirnya moda transportasi yang lebih praktis, efektif, nyaman, dan memudahkan.   

Merdeka!!!

 

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...