KOPI (solilokui)

Yang –di masa SD-SMP tahun ’70an– pernah ikut orang tua ngunduh (panen) kopi, saya tahu betul bagaimana kualitas kopi. Pohonnya yang tua-tua dengan cabang dan ranting tinggi-tinggi, sehingga untuk memetik buah kopi harus menggunakan carang (sejenih sabit untuk panen padi yang diberi tangkai panjang agar bisa menjangkau ranting yang tinggi di pucuk-pucuk pohon kopi).

Buah kopi di ranting itu belumlah matang semua, hanya satu-dua buku (istilah setempat) yang matang atau menguning tua, buah di bagian ujung ranting masih muda dan hijau. Tapi, karena di-carang jadinya buah yang masih muda ikut terpetik. Alhasil, buah kopi yang dipanen campuran antara yang merah, kekuning-kuningan, dan yang masih hijau.

tangkapan kamera berita kopi impor di koran Radar Lampung, Rabu, 31 Juli 2019

Setelah dipetik, kopi dijemur di atas tanah, di tikar, terpal, atau lantai semen, bahkan ada yang di aspal jalan. Cara penjemuran seperti itu memang lazim dilakukan petani kopi. Hampir tidak ada yang menerapkan teknologi yang terkesan mutakhir. Misalnya, membuat penjemuran khusus yang mendukung dihasilkannya biji kopi yang memenuhi standar kualitas.

Setelah tahun ’80an, saya perhatikan pohon-pohon kopi yang dulu tinggi-tinggi, dipangkas dan diremajakan dengan memelihara tunas baru di pangkal batang. Setelah tunas-tunas itu mencapai ketinggi setara tubuh orang dewasa, pucuknya dipangkas agar tidak tumbuh meninggi seperti induknya dahulu. Sejak itu tinggi pohon kopi petani sama sepeti tingginya pohon teh.

Buah kopi dari pohon yang diremajakan itu bisa dipetik dengan tangan, tidak lagi menggunakan carang. Yang dipetik dipilih buah yang matang saja, istilahnya petik merah. Dengan begitu biji kopi yang dihasilkan akan lebih bagus dibanding bila dirontokkan semua satu tangkai. Harusnya memang seperti itu, untuk memperoleh biji kopi yang baik, petiklah yang matang merah saja.

Meski pohon kopi diremajakan dan petik merah, tetap saja persoalan untuk menghasilkan kopi yang berkualitas standar belum bisa diwujudkan. Pasalnya, petani pada umumnya masih terkendala pada proses penjemuran. Penjemuran dengan cara digerai di atas tanah atau tikar, di lantai semen atau aspal jalan masih belum bisa ditinggalkan karena memang hanya itu yang bisa dilakukan.
  
Secara produsen kopi dunia, Indonesia menduduki peringkat ketiga di bawah Brasil dan Vietnam. Meski demikian, tetap saja kebutuhan kopi dalam negeri tidak bisa terpenuhi dari hasil panen anak negeri sendiri. Konsumsi kopi nasional tumbuh 10 persen per tahun, sementara konsumsi dunia hanya 2,5 persen. Di sinilah peluang ’bermainnya’ para importir kopi.

Dibeberkan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Lampung, ada tiga perusahaan pengimpor kopi di Lampung. Yaitu PT. Indra Brothers, PT. Sarimakmur Tunggal Mandiri, dan PT. Nedcoffee Indonesia Makmur Jaya. Dua perusahaan pertama mengimpor kopi Vietnam, sedang perusahaan terakhir mengimpor kopi Korea Selatan. (Radar Lampung, Rabu, 31/7/2019).

Menurut data PT. Pelindo II, total kopi impor yang masuk ke Lampung 8.000 ton. Masuknya kopi impor membawa dampak buruk bagi petani kopi lokal. Harga kopi turun drastis hingga 20 persen. Semula harga kopi Rp20.000 hingga Rp25.000 per kilogram, turun menjadi Rp17.000 hingga Rp18.000 per kilogram. Kalau turun terus apa nggak petani yang rugi? Kasihan dong petani kopi.

Jangankan ada kopi impor, tibanya masa panen pun memengaruhi turun naiknya harga kopi. Saat belum tiba musim panen atau saat masa genting di mana stok kopi tak ada, biasanya harga jual kopi di pasaran tinggi dan cenderung naik perlahan. Tapi, begitu masa panen tiba, harga mulai turun perlahan. Puncak anjloknya harga kopi terjadi pada saat banjirnya hasil panen petani.

Jadi, saat stok langka. Simpanan petani sudah tak ada di gudang dan masa panen masih jauh. Atau saat petani lagi butuh-butuhnya duit untuk bayar uang SPP anak atau memenuhi kebutuhan lainnya, saat itulah harga kopi di pasaran lagi tinggi-tingginya. Namun, begitu masa panen tiba, kopi mulai banjir dan petani ingin menjual, apadaya harga kopi ’bermain perosotan’ nyungsep ke tingkat terendah.

Begitulah ironi petani kopi. Tak ada hiburan yang lebih menghibur selain solilokui. Drama realisme tak berbabak, bak sendawa pikiran tak terkata mengangkasa bagai uap kopi di beranda dangau di tengah huma. Buliran lema di ngungun lamun tak bertepi, di sela seruput demi seruput kopi. Tanpa harus melalui penyadaran, apakah pure fine robusta, kopi luwak, atau kopi lanang. Ui... bangikni ngupi.        

n Bandarlampung, 1 Agustus 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan