KOPI (solilokui)
Yang –di
masa SD-SMP tahun ’70an– pernah ikut orang tua ngunduh (panen) kopi, saya tahu betul bagaimana kualitas kopi.
Pohonnya yang tua-tua dengan cabang dan ranting tinggi-tinggi, sehingga untuk
memetik buah kopi harus menggunakan carang
(sejenih sabit untuk panen padi yang diberi tangkai panjang agar bisa
menjangkau ranting yang tinggi di pucuk-pucuk pohon kopi).
Buah kopi di
ranting itu belumlah matang semua, hanya satu-dua buku (istilah setempat) yang matang atau menguning tua, buah di
bagian ujung ranting masih muda dan hijau. Tapi, karena di-carang jadinya buah yang masih muda ikut terpetik. Alhasil, buah
kopi yang dipanen campuran antara yang merah, kekuning-kuningan, dan yang masih
hijau.
Setelah
dipetik, kopi dijemur di atas tanah, di tikar, terpal, atau lantai semen,
bahkan ada yang di aspal jalan. Cara penjemuran seperti itu memang lazim
dilakukan petani kopi. Hampir tidak ada yang menerapkan teknologi yang terkesan
mutakhir. Misalnya, membuat penjemuran khusus yang mendukung dihasilkannya biji
kopi yang memenuhi standar kualitas.
Setelah
tahun ’80an, saya perhatikan pohon-pohon kopi yang dulu tinggi-tinggi,
dipangkas dan diremajakan dengan memelihara tunas baru di pangkal batang.
Setelah tunas-tunas itu mencapai ketinggi setara tubuh orang dewasa, pucuknya
dipangkas agar tidak tumbuh meninggi seperti induknya dahulu. Sejak itu tinggi
pohon kopi petani sama sepeti tingginya pohon teh.
Buah kopi
dari pohon yang diremajakan itu bisa dipetik dengan tangan, tidak lagi menggunakan
carang. Yang dipetik dipilih buah
yang matang saja, istilahnya petik merah. Dengan begitu biji kopi yang
dihasilkan akan lebih bagus dibanding bila dirontokkan semua satu tangkai. Harusnya
memang seperti itu, untuk memperoleh biji kopi yang baik, petiklah yang matang
merah saja.
Meski pohon
kopi diremajakan dan petik merah, tetap saja persoalan untuk menghasilkan kopi
yang berkualitas standar belum bisa diwujudkan. Pasalnya, petani pada umumnya
masih terkendala pada proses penjemuran. Penjemuran dengan cara digerai di atas
tanah atau tikar, di lantai semen atau aspal jalan masih belum bisa
ditinggalkan karena memang hanya itu yang bisa dilakukan.
Secara
produsen kopi dunia, Indonesia menduduki peringkat ketiga di bawah Brasil dan
Vietnam. Meski demikian, tetap saja kebutuhan kopi dalam negeri tidak bisa
terpenuhi dari hasil panen anak negeri sendiri. Konsumsi kopi nasional tumbuh
10 persen per tahun, sementara konsumsi dunia hanya 2,5 persen. Di sinilah
peluang ’bermainnya’ para importir kopi.
Dibeberkan
oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Lampung, ada tiga perusahaan
pengimpor kopi di Lampung. Yaitu PT. Indra Brothers, PT. Sarimakmur Tunggal
Mandiri, dan PT. Nedcoffee Indonesia Makmur Jaya. Dua perusahaan pertama
mengimpor kopi Vietnam, sedang perusahaan terakhir mengimpor kopi Korea Selatan.
(Radar Lampung, Rabu, 31/7/2019).
Menurut data
PT. Pelindo II, total kopi impor yang masuk ke Lampung 8.000 ton. Masuknya kopi
impor membawa dampak buruk bagi petani kopi lokal. Harga kopi turun drastis
hingga 20 persen. Semula harga kopi Rp20.000 hingga Rp25.000 per kilogram,
turun menjadi Rp17.000 hingga Rp18.000 per kilogram. Kalau turun terus apa nggak petani yang rugi? Kasihan dong petani kopi.
Jangankan ada
kopi impor, tibanya masa panen pun memengaruhi turun naiknya harga kopi. Saat belum
tiba musim panen atau saat masa genting di mana stok kopi tak ada, biasanya
harga jual kopi di pasaran tinggi dan cenderung naik perlahan. Tapi, begitu
masa panen tiba, harga mulai turun perlahan. Puncak anjloknya harga kopi
terjadi pada saat banjirnya hasil panen petani.
Jadi, saat stok
langka. Simpanan petani sudah tak ada di gudang dan masa panen masih jauh. Atau
saat petani lagi butuh-butuhnya duit untuk bayar uang SPP anak atau memenuhi
kebutuhan lainnya, saat itulah harga kopi di pasaran lagi tinggi-tingginya. Namun,
begitu masa panen tiba, kopi mulai banjir dan petani ingin menjual, apadaya
harga kopi ’bermain perosotan’ nyungsep
ke tingkat terendah.
Begitulah ironi
petani kopi. Tak ada hiburan yang lebih menghibur selain solilokui. Drama realisme tak berbabak, bak sendawa pikiran tak
terkata mengangkasa bagai uap kopi di beranda dangau di tengah huma. Buliran lema
di ngungun lamun tak bertepi, di sela
seruput demi seruput kopi. Tanpa harus melalui penyadaran, apakah pure fine
robusta, kopi luwak, atau kopi lanang. Ui... bangikni ngupi.
n Bandarlampung,
1 Agustus 2019
Komentar
Posting Komentar