Kongres Bahasa Daerah Nusantara Pertama Digelar
Yayasan Rancage bersama pemerintah Jawa Barat bersama menggelar Kongres Bahasa Daerah Nusantara pertama. ”Kongres ini diharapkan dapat membuka kesadaran masyarakat untuk upaya penyelamatan bahasa daerah,” kata Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar saat membuka kongres yang digelar tiga hari di Gedung Merdeka, Bandung, 2 Agustus 2016.
Deddy mengatakan Indonesia merupakan negara terkaya kedua
setelah Papua Nugini jika dihitung dari jumlah bahasa daerahnya. Papua Nugini
tercatat memiliki 800 bahasa daerah, sedangkan Indonesia 749 bahasa daerah.
Menurut Deddy, dari ratusan bahasa daerah itu kondisinya
beragam. Dari jumlah penutur misalnya, bahasa daerah sejumlah etnis relatif
aman karena jumlah penuturnya di atas satu juta orang seperti bahasa Jawa,
Sunda, Melayu, Madura, Minang, Batak, Bugis, Bali, Aceh, Sasak, Makasar, serta
Lampung. Namun ada yang terancam karena jumlah penuturnya kurang dari seribu
orang.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Dadang Sunendar mengatakan, lembaganya hingga saat
ini tengah meneliti 659 bahasa daerah di Indonesia dari 2.348 lokasi penelitian
di seluruh Indonesia sejak 1992. ”Sampai hari ini baru 617 bahasa daerah yang
sudah teridentifikasi,” kata dia di kongres itu.
Data itu masih akan berubah karena penelitian masih terus
dilakukan. Catatan penelitian soal identifikasi bahasa daerah bisa berbeda
tergantung metode penelitian yang digunakan. Penelitian etnolog misalnya
mencatat di Indonesia terdapat 726 bahasa daerah, dari jumlah itu 139 bahasa
daerah terancam punah, dan 14 bahasa daerah sudah punah.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mencatat bahasa
daerah di Pulau Jawa relatif masih aman. Sedangkan di Kalimantan satu bahasa
terancam punah, di Maluku 22 bahasa daerah terancam punah dan 11 punah, Papua
Halmaehera mencatat 67 bahasa terancam punah dan dua punah. Di Sulawesi 36
terancam punah dan satu punah. Di Sumatera dua terancam punah dan satu punah.
Di Flores, Bima, Sumbawa ada 11 terancam punah.
Dadang mengatakan, penelitian lembaganya mendapati bahasa
daerah terancam punah disebabkan sejumlah penyebab. Di antaranya menyusutnya
jumlah penutur, peperangan, bencana alam, kawin campur antar suku, lokasi
geografis daerahnya, hingga sikap bahasa penutur itu sendiri.
Dadang mencontohkan kasus bahasa Taijo di Sulawesi Tengah
yang berstatus terancam punah dengan jumlah penutur bahasa itu hanya berkisar
12 ribu orang. Bahasa Taijo belum memiliki sistem aksara, tidak diajarkan di
sekolah, bersaing dengan bahasa daerah sekitar hingga bahasa Jawa dan Bali yang
dibawa transmigran di daerah itu. ”Pemerintah mencoba mendorong orang-tua
menggunakan bahasa daerah di rumah serta mengembangkan komunitas penutur bahasa
itu,” kata dia.
Ketua Yayasan Rancage Rachmat Taufiq Hidayat pada pengantar
kongres itu mengatakan, dalam pertemuan-pertemuan yang membahas bahasa daerah
tertentu sering muncul salah paham saat membahas kedudukan bahasa daerah,
sekaligus cemas dengan masa depannya. ”Sudah waktunya diselengarakan kongres
bahasa daerah yang membahas pokok persoalan yang dihadapi oleh bahasa daerah,”
kata dia.
Rachmat mengatakan, gagasan menggelar kongres bahasa daerah
sudah lama disuarakan oleh Ajip Rosidi, budayawan sekaligus pendiri yayasan
itu. Baru pada Agustus 2014, program kerja yayasan memutuskan untuk menggelar
kongres bahasa daerah.
Ajip Rosidi mengatakan, ide kongres bahasa daerah sudah
dilontarkannya sejak tahun 80-an. Pusat Bahasa misalnya sempat tertarik
menggelar kongres itu tapi batal. “Tidak tahu alasannya, tidak bisa
dilaksanakan. Sekarang juga kalau bukan Pak Deddy Mizwar jadi wakil gubernur,
belum tentu terlaksana, kata dia, Selasa, 2 Agustus 2016.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat Ida
Hernida mengatakan, kongres bahasa daerah nusantara itu diikuti 225 peserta dari
berbagai kalangan yang berasal dari seluruh Indonesia. Terdapat 28 pemakalah
dari dalam dan luar negeri yang akan membahas beragam masalah bahasa daerah.
Di Kongres itu, Yayasan Rancage sempat memperkenalkan Kamus
Bahasa Sunda yang disusunnya sejak 2011 dan rampung tahun lalu. ”Kamus ini
sekarang sudah selesai, berisi 150 ribu lema dan sub lema. Sebagai
perbandingan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 4 tahun 2008 berisi 90 ribu
lema dan sub lema,” kata Ketua Yayasan Rancage Rachmat Taufiq Hidayat.
TEMPO.CO
Komentar
Posting Komentar