Buku dan Minat Baca
”Setiap bulan sedikitnya saya membeli 300 buku,” demikian budayawan Taufik Rahzen bertutur di sebuah acara bertajuk ”Temu Blogger Buku” di pertengahan Mei 2008. ”Kadang-kadang bisa juga sampai 600 buku,” tambahnya. Ratusan pengunjung yang terkejut mendengar angka 300, dibuatnya lebih terperangah lagi.
Acara yang ditaja di Kafe Matahari, Jakarta, tersebut memang diselenggarakan oleh para ’kutu buku’ yang tidak hanya hobi baca tapi juga rajin membuat ulasan di blog tentang buku yang dibacanya. Paslah memang acara itu bertema ”Temu Blogger Buku” karena yang hadir sebagian besar para blogger yang suka baca buku.
Keterkejutan mendengar pernyataan Taufik Rahzen yang setiap bulan membeli 300 bahkan 600 buku, penggila buku yang berani-beraninya ngaku ’kutu buku,’ tentu sedikit pakewuh jika ternyata hanya bisa membeli 2 atau 3 buku dalam sebulan. Lebih-lebih bagi orang yang masih menganggap buku hanyalah kebutuhan sekunder.
Di masa pandemi Covid-19, yang mengharuskan orang stay at home berbulan-bulan, membaca buku bisa menjadi alternatif hiburan selain menonton televisi. Tetapi, dengan tidak boleh keluar rumah, tentu menghalangi orang untuk pergi ke toko buku. Beruntungnya belanja buku bisa dilakukan secara online melalui beberapa Marketplace.
Hanya saja, di masa pandemi Covid-19, banyak hal lebih prioritas untuk dibeli ketimbang buku. Apalagi pandemi berdampak tidak hanya terhadap kesehatan tapi juga perekonomian masyarakat. Dengan tidak boleh keluar rumah sama dengan tidak boleh beraktivitas mengais rezeki. Begitu mematikan penghasilan pekerja harian.
Sehingga alih-alih membeli buku, untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja terasa sulit manakala sumber penghasilan terputus. Kecuali kalau punya tabungan banyak di rekening, belanja buku bagi para ’kutu buku’ bukanlah suatu ganjalan. Namanya juga ’kutu buku,’ yang senantiasa akan merasa ada yang kurang kalau tidak baca buku.
Tentu saja, semuanya terpulang kembali kepada ’minat baca’ terhadap buku. Secara umum semua orang punya minat baca, namun yang dibaca adalah status orang di akun media sosial seperti facebook, Instagram, Twitter, atau pesan WhatsApp. Kalau minat baca terhadap buku, hanya segelintir orang yang masuk kategori khusus.
Keranjingan orang pada media sosial telah menggeser kesenangan membaca buku. Apalagi pukau media sosial menyihir orang untuk lebih senang belanja fesyen. Iklan-iklan fesyen yang berseliweran di laman facebook atau Instagram lebih menarik perhatian. Tidak berhenti hanya tertarik tapi berakhir pada eksekusi pembelian.
Media baru yang kian menjauhkan orang dari buku adalah YouTube dan TikTok. Orang dengan rentang usia anak-anak hingga dewasa lebih keranjingan nonton yutub, nge-tiktok, atau main gim daripada baca buku. Tak bisa dimungkiri memang, era digital memunculkan kesenangan baru. Perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan.
Di samping itu, merosotnya daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19, prioritas belanja barang lebih diutamakan pada kebutuhan pokok. Mahalnya harga buku sebagai akibat naiknya harga kertas dan komponen cetak lainnya, memicu masyarakat sedikit mengerem keinginan menambah koleksi buku. Pengunjung toko buku pun ikut merosot.
Walaupun semua penerbitan buku memiliki akun Instagram dan rajin mengunggah buku-buku baru terbitannya, namun tetap saja para follower hanya sebatas suka memberi tanda hati daripada melakukan pembelian buku-buku yang dipost. Negasinya hanya sebatas membaca akun media sosialnya. Alih-alih minat sama bukunya.
Kembali kepada cerita kesenangan Taufik Rahzen terhadap buku. Pria yang lahir di Sumbawa ini, di masa kecilnya rela berjalan kaki sejauh 35 km demi bisa membaca buku. Bagi seorang ’kutu buku’ sejati, jarak yang jauh dan apa pun aral rintangan tak akan mengurungkan niatnya untuk menempuh. Asal dahaganya terhadap buku bisa terhapuskan.
Jarak sejauh itu kalau di masa sekarang ini tentu tidak begitu menciutkan nyali untuk menjalaninya. Tetapi faktanya, toko buku semakin sepi pengunjung. Artinya, sedekat apa pun jarak dan seberapa mudah pun mencapainya kalau tidak ada minat untuk mengunjunginya ya akan sepilah toko buku. Jadi, kuncinya memiliki minat baca.
Minat baca yang tinggilah yang mendasari Taufik Rahzen memiliki kebiasaan belanja buku hingga 300 bahkan 600 buku per bulan. Perkara tidak semua buku dibaca tuntas, itu bukan soal. Bisa jadi jangankan dibaca, sedang dibuka plastik segelnya pun belum sempat, sudah ada buku baru lagi. Kalau sudah hobi, apa mau dikata.
BKP, Minggu, 6 September 2020
Komentar
Posting Komentar