Banality of Evil
Banality of evil (banalitas kejahatan) didefinisikan oleh Hannah Arendt sebagai anggapan yang wajar terhadap kejahatan, dan tidak menganggap kejahatan itu sebagai sesuatu yang salah, atau lebih parahnya kejahatan dianggap tidak ada. Adanya banalitas disinyalir karena manusia kehilangan kepribadian dalam dirinya.
Belum tiris betul hebohnya media memviralkan kasus pelecehan seksual di sebuah gerai kopi dengan jenama populer. Kembali netizen dikejutkan viralnya kasus permintaan sejumlah uang disertai pelecehan seksual, dialami seorang cewek berinisial LHI, saat melakukan rapid test di Bandara Soekarno-Hatta, Minggu (13/9/2020).
Pelakunya, menurut utas twet LHI, adalah oknum berinisial EFYS (S.Ked) yang bertugas melayani keperluan rapid test calon penumpang di terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. EFYS bertugas pada sebuah klinik milik perusahaan farmasi berpelat merah. Hasil tes itu sangat menentukan seseorang boleh terbang atau tidak.
Dari curhatan di Twitter itu terungkap oknum tersebut menawarkan skenario mengganti keterangan hasil tes yang semula reaktif diubah menjadi non-reaktif setelah dilakukan tes ulang dan LHI membayar biaya sebesar Rp150 ribu. Skenario itu diduga ditawarkan EFYS sebagai jalan keluar agar LHI tetap bisa terbang ke Nias tanpa kendala.
Bagi LHI yang tidak mau ribet oleh urusan yang njelimet, demi lancarnya rencana penerbangan, mengeluarkan sejumlah uang tentu bukanlah persoalan. Persoalan timbul manakala ada permintaan uang lagi oleh EFYS meski LHI sudah membayar biaya rapid test ulang. Dan lebih gawat lagi ternyata ada unsur kejahatan yang menyertainya.
Meski LHI sudah membayar biaya rapid test ulang Rp150 ribu, tampaknya belum membuat EFYS marem. Saat LHI berjalan mau naik ke atas menuju departur gate, EFYS mengejar dan mengajak ngobrol di tempat sepi, di situ EFYS meminta uang imbalan atas ”jasa” kesediaan mengubah keterangan dari reaktif menjadi non-reaktif.
Ketika LHI menawarkan Rp1 juta, EFYS minta ditambahi. Lantas LHI mentransfer Rp1,4 juta melalui m-banking karena tidak punya uang cash. Meski di luar kewajaran tetapi LHI bersedia memenuhinya demi alasan ga mau ribet. Celakanya, tidak berhenti di penyelesaian transfer uang ”jasa” saja, di situ EFYS melakukan pelecehan terhadap LHI.
Saat mendapat perlakuan tidak etis dari EFYS, LHI langsung shock, ga bisa ngapa2in, cuma bisa diem, mau ngelawan aja gabisa saking hancurnya. Di kolom reply, seorang cewek pemilik akun @Awwkarin24, berkomentar, ”Kok kmu diam aja ya mbak? Pnya mulut, tangan, kaki bukan nya di lawan. Apa kmu menikmati ya?”
Terang saja komentarnya itu diserbu hujatan netizen. Kadang betapa entengnya orang melontarkan komentar tak mencerminkan sensitivitas. Apakah dia pikir, kalau dia yang menjadi korban, akan segampang yang dia kira melakukan perlawanan? Saat peristiwa pelecehan seksual terjadi, korban mengalami kondisi yang dinamakan tonic immobility.
Tonic immobility (imobilitas tonik) adalah reaksi biologis yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan sementara atas apa pun yang diterima oleh tubuhnya. Dengan kata lain, kondisi yang membuat tubuh manusia kaku atau terkunci sementara. Tangan dan kaki yang seharusnya bisa digunakan untuk menghajar pelaku, mendadak tak bisa digerakkan.
Demikian juga mulut yang semestinya bisa menyuarakan teriakan atau caci maki, justru terkatup dan sulit sekali terbuka. Sejak lama para ilmuwan menyebut kondisi syok yang dialami korban sangat mungkin membuatnya sulit melakukan perlawanan. Reaksi minimal yang bisa dilakukan paling menangis, itu pun kadang hanya bisa berupa isak yang tertahan.
Kelumpuhan sementara yang mendera korban kekerasan seksual merupakan respons bawaan tubuh, tanpa disengaja, dan berada di luar kendali. Respons semacam ini sebagai hal yang lumrah dan juga terjadi pada hewan. Pada hewan, reaksi ini dianggap sebagai pertahanan adaptif evolusioner terhadap serangan predator.
Tidak berhenti sampai di situ, mereka yang mengalami kelumpuhan sementara saat berhadapan dengan pelaku pelecehan seksual juga terindikasi dua kali lipat berisiko menderita post-traumatic stress disorder (PTSD), serta tiga kali lebih mungkin mengidap depresi berat pada bulan-bulan setelah mengalami pelecehan seksual.
Kajian atau uraian di atas, sebagai bantahan terhadap komentar @Awwkarin24 atau pendapat umum yang menganggap semua korban pelecehan seksual harusnya otomatis bereaksi melawan secara fisik, atau setidaknya mampu menolak dengan kata-kata. Pandangan tersebut terlampau menggeneralisasi, serta tanpa empati.
***
Kalau mau ditarik mundur ke waktu yang lampau, daftar kasus pelecehan seksual terhadap perempuan akan berderet-deret panjang. Misalnya, kasus yang dialami Agni dan Maria, keduanya mahasiswi UGM, kasus pelecehan seksual oleh IM terhadap 30 mahasiswi UII. Juga kasus Yuyun (14), yang diperkosa 14 laki-laki kemudian dibunuh.
Itu sebagian kecil kasus yang terungkap, yang tidak terungkap tentu saja banyak. Mengapa tidak terungkap? Banyak faktor dan berbagai alasan. Misalnya, tidak mau merasa malu kalau ketahuan orang lain. Atau mungkin pelakunya masih keluarga dekat, apakah ayah kandung atau tiri, kakak kandung atau tiri, atau tetangga.
Sangat disayangkan kalau kasus hanya didiamkan saja, tidak berani speak up seperti LHI, Agni, Maria, dan lainnya. Untuk berani speak up dibutuhkan kekuatan mental yang tinggi. Dipicu trauma dan efek psikologis yang muncul dari setiap peristiwa pelecehan, membuat para korban hanya menyimpan rapat-rapat derita yang dialaminya.
Bila menilik catatan Komnas Perempuan, pada 2019 ada 4.898 kasus. Sampai dengan lima bulan pertama tahun 2020, dalam kondisi pandemi Covid-19, ada laporan sebanyak 461 kasus. Di masa pandemi Covid-19 sekalipun tidak menjadikan ”tameng” bagi kaum laki-laki untuk melalukan perundungan terhadap perempuan.
Mengapa banalitas kejahatan seperti pelecehan seksual seakan tak ada habisnya? Di buku Muslimah yang Diperdebatkan, Kalis Mardiasih menulis, ”Akar dari seluruh persoalan kekerasan berbasis gender atas nama apa pun, adalah soal kekuasaan, soal dominasi, dan penindasan oleh yang kuat kepada yang lemah.”
Pelaku pelecehan biasanya cenderung misoginis, menganggap relasi antara kedua gender tidak setara. Relasi antara laki-laki dan perempuan masih bersifat asimetris, cerminan budaya patriarki yang menempatkan laki-laki pada tempat yang lebih tinggi daripada perempuan. Perempuan sebagai objek yang mudah ditundukkan.
Dari reply Twitter itu terungkap pula speak up seorang pramugari sebuah maskapai penerbangan. Si pramugari mengunggah status di IG story-nya, menyatakan kalau dirinya juga korban pelecehan oleh pelaku yang sama. Sampai di sini, setidaknya diduga ada dua korban pelecehan yang dilakukan EFYS. Mungkinkah ada korban lainnya? Penuh teka-teki yang perlu dicarikan jawabannya.
Kalau di kemudian hari, melalui penyelidikan dan penyidikan polisi, ternyata ada korban lain –menurut pengakuan EFYS–, berarti bagi seorang EFYS, melakukan kejahatan –permintaan uang dan/atau pelecehan seksual– adalah hal yang biasa dalam arti dirinya telah menganggapnya sebagai banalitas. Sehingga dilakukannya berulang.
Kalau EFYS berkelit dari berterus terang mengenai berapa jumlah korban, sebaiknya para korban lain ada keberanian untuk berbicara ke publik. Hal ini penting, terutama bagi kepolisian untuk menetapkan pasal hukuman yang akan dijatuhkan kepada yang bersangkutan. Lebih jauh lagi, penegakan hukum bertujuan untuk menciptakan efek jera.
Efek jera itu tidak hanya diarahkan terhadap yang bersangkutan (oknum EFYS), tetapi juga terhadap pelaku lainnya. Seperti halnya Adolf Eichmann, seorang tentara Jerman pada Perang Dunia II, meski Nazi sama sekali tidak tampak kejam. Tidak ada tanda-tanda kejahatan dalam dirinya. Eichmann punya nurani dan kecerdasan, tetapi telah mandul. Oknum EFYS juga, taruhlah kita anggap ia orang baik, karena pada dasarnya semua orang itu baik.
Benar juga, pada dasarnya semua orang itu baik. Tetapi, sangat mungkin pula ada kecenderungan orang baik itu menyalahgunakan kebaikannya untuk melakukan kesalahan yang barangkali dianggapnya wajar dan biasa. Sehingga coba-coba berbuat iseng. Mestinya oknum EFYS melayani dengan tulus tanpa pamrih, malah meminta imbalan sebagai ”uang jasa”. Iseng atau sengaja?
Jangan-jangan, kecenderungan EFYS menganggap meminta ”uang jasa” adalah wajar, dari mencoba kepada satu orang, berlanjut ke orang lain dan seterusnya. Dari melakukan pelecehan kepada satu korban, dilanjutkan terhadap korban lainnya. Akhirnya banyak korban. Dari kecenderungan satu ke kecenderungan lain. Itulah banalitas kejahatan serba dianggap wajar.
***
Di masa pandemi Covid-19, banyak orang yang menderita jiwanya. Pekerjaan yang sifatnya monoton, seperti yang disandang EFYS atau lainnya, tak bisa dimungkiri lama-lama tentu menimbulkan kejenuhan. Beban pekerjaan yang memicu stres, depresi, cemas, hingga kesepian, membutuhkan relaksasi yang menyenangkan.
Seperti orang yang terpapar virus Covid-19 tanpa gejala (OTG), gejala stres, depresi, cemas, hingga kesepian, itu umumnya juga tersembunyi. Stres umumnya muncul sebagai rasa tertekan akibat kondisi tertentu, sedangkan depresi merupakan kondisi lebih lanjut dari stres yang membuat seseorang tak berdaya dan kehilangan semangat.
Hanya di ruang kerja berjam-jam dan berhari-hari, seperti yang dialami EFYS, sulit dihindari karena ia terikat tugas, walaupun statusnya mungkin hanya relawan. Kondisi demikian sangat mungkin menjadikannya kehilangan kesempatan untuk bergerak (mobilitas) yang membuat badan sedikit bugar dan pikiran lebih fresh sesuai kebutuhan alamiah tubuh manusia.
Jiwa yang menderita, stres, depresi, cemas, hingga kesepian, itu tentu saja membutuhkan kompensasi. Kompensai dalam bentuk imbalan uang sebagai ”jasa” atas kebaikannya mau mengubah keterangan hasil rapid test dari reaktif menjadi non-reaktif, mungkin bisa dimaklumi bila sebatas besaran tarif resmi. Di luar itu, kategorinya pemerasan.
Yang tidak bisa dimaklumi adalah tindakan pelecehan seksual yang dilakukan EFYS terhadap LHI. Atau tindakan pelecehan seksual atas nama apa pun, oleh siapa pun terhadap siapa pun. Sudah semestinya banalitas kejahatan seperti yang didefinisikan oleh Hannah Arendt ditegaskan sebagai persepsi yang menyesatkan dan perlu diluruskan.
Mengapa begitu? Karena dampak psikologis pelecehan seksual membuat mental para korban down, rendahnya self esteem, personal distress, depresi, cemas, murung berkepanjangan, mengurung diri. Bahkan sangat mungkin melakukan bunuh diri dan/atau insiden kriminal lainnya. Jika banalitas kejahatan dibiarkan, efeknya sungguh tragik.
BKP, Kamis, 24 September 2020
Komentar
Posting Komentar