Sekali Berarti Sesudah itu Mati

Didi Kempot berkolaborasi dengan Ardha Krisna Pratama di konser amal bertajuk #darirumah untuk penggalangan dana untuk warga terdampak Covid-19 di Kompas TV

Penyair Chairil Anwar sepertinya sudah mendapat firasat kalau tak akan berumur panjang. Karenanya, dalam puisinya berjudul ’Maju’ ia menulis ”sekali berarti sesudah itu mati.” Frase itu sangat terkenal sehingga diartikan sebagai tabir pelindung bagi Chairil Anwar terhadap firasat kematiannya.


Judul tulisan ini saya pinjam dari bait kedua puisi ”Si Binatang Jalang” Chairil Anwar itu. Puisi itu ia ciptakan sebagai pengobar semangat para pejuang kemerdekaan mengusir penjajah dari Tanah Air. Tetapi, relevansi puisi di era perjuangan itu tetap terasa hingga di era post truth sekarang ini.

Soe Hok Gie pernah bilang, ”Seorang filsuf Yunani pernah menulis; nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah yang berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

Dan, Soe Hok Gie, termasuk golongan orang yang berbahagia itu, karena ia mati muda. Kurt Cobain melalui surat kematiannya yang mengutip lirik lagu Neil Young yang berjudul My My, Hey Hey (Out of the Blue) mengatakan, ”Lebih baik terbakar habis daripada memudar.” Dan ia pun mati muda.

Soe Hok Gie dan Chairil Anwar sama-sama mati muda, di usia sekitar 27 tahunan. Nike Ardilla meninggal di usia 22 tahun, Olga Syahputra meninggal di usia 32 tahun. Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Brian Jones, dan lain-lainnya juga memilih mati muda dengan caranya masing-masing.

Bimbo dalam lagu mereka Hidup dan Pesan Nabi: ”Hidup bagaikan garis lurus, tak pernah kembali ke masa lalu. Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung, dan tiada pangkal. Hidup ini melangkah terus mendekati titik terakhir. Setiap langkah hilanglah jatah menikmati hidup, nikmati dunia.”

Begitulah, setiap yang berjiwa pasti mati. Setiap kehidupan akan menemui sisi dualitasnya: kematian. Itu keniscayaan. Hanya saja yang tidak pasti adalah kapan waktunya, bagaimana kejadiannya, di mana tempatnya. Itu bagian dari rahasia si pemilik kehidupan.
Didi Kempot tampil di acara Kemendikbud yaitu Pekan Kebudayaan Nasional, Oktober 2019. (Foto: Dok. PKN Ditjen Kebudayaan Kemendikbud)
Belum kering rasanya air mata kita pasca-kepergian Glenn Fredly menghadap Tuhannya pada Rabu (8/4/2020) lalu, kembali kita menangisi ’kepulangan’ Didi Kempot ke Rahmatullah pada Selasa (5/5/2020). Kita tercekat di depan televisi, mengenang The Godfather of Broken Heart itu.

Belum reda pukau kita menyaksikan konsernya bersama Narasi TV bertajuk #dirumahaja. Bukan hanya itu, konser amal #darirumah bertajuk Tresno Ambyar di Kompas TV dalam aksi menggalang dana untuk Covid-19, pada 11 April 2020 berhasil mengumpulkan sumbangan Rp7,6 M. Masih sayup-sayup kita mendengar lagu ”Ojo Mudik” seketika ambyar ketika ternyata ia ”pulang kampung” ke alam barzakh.

Apa makna Kempot di belakang namanya? Itu singkatan dari Kelompok Pengamen Trotoar. Didi mengawali karier sebagai musisi jalanan. Ia ngamen di daerah Keprabon (Solo), di situ daerah warung lesehan nasi liwet. Masa perjuangan jadi pengamen itu ia alami pada 1984-1986an.

Lalu pada 1987-1989an ia hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib membawa nama panggung ’Kempot’, bersama seniman jalanan lainnya mereka ngamen di daerah Slipi, Palmerah, Senen, dan Cakung. Rambutnya yang gondrong sempat ia potong sebagai nazar karena berhasil masuk dapur rekaman pada 1990. Lagu yang direkam We Cen Yu singkatan Kowe Pancen Ayu (kamu memang cantik).

Tahun 1993 ia tampil di Suriname membawakan lagu Cidro, sukses meningkatkan pamornya sebagai musisi terkenal di negara kepulauan tersebut. Pada 1996, lagu Layang Kangen ia rekam di Rotterdam, Belanda. Pada 1998 Didi Kempot pulang ke Indonesia, untuk meneruskan profesinya sebagai penyanyi campursari di Tanah Air. Di awal era reformasi itulah ia mengeluarkan lagu Stasiun Balapan dan ndilalah ngetop sak antero nusantara.

Kembalinya Didi Kempot ke Indonesia membuat kariernya semakin maju. Sejak awal tahun 2000 secara beruntun ia lahirkan lagu-lagu populer. Di antaranya, Plong (2000), Ke Taman Asmoro (2001), Sewu Kuto (2002), Cucak Rowo (2003), Jambu Alas (2004), Ono Opo (2005), Kalung Emas (2013), Suket Teki (2016). Lagu tersebut mendapatkan apresiasi yang tinggi dari warga Indonesia.

Bagi kaum penyintas patah hati, lagu-lagu Didi Kempot seakan menjadi alternatif terapi yang mujarab buat melipur lara. Kesedihan mereka seakan ambyar dengan mendengar lagu-lagu yang mengekspresikan perasaan tercederai, tersakiti, terlara-lara, ditinggal lungo bahkan ditinggal rabi.
   
Tetapi bagi Didi Kempot, lagu hanyalah sebagai medium menyalurkan ekspresi dan perasaannya. Tidak semua cerita cinta dan segenap romansanya, yang ada di lagu-lagunya berdasarkan kisah nyata. Bukan seniman namanya kalau tidak bisa mengeksplor segala kearifan lokal di sekitarnya.
Lord Godfather of Broken Heart dalam aksi panggungnya menghibur SobatAmbyar

Kearifan lokal yang terekam dalam lagu-lagunya, di antaranya tempat-tempat yang bisa menggambarkan sebuah momen perpisahan seperti Stasiun Balapan Solo, Terminal Tirtonadi Solo, Jembatan Tirtonadi, Taman Balekambang Solo, Bengawan Solo, Terminal Kertonegoro Ngawi, Ademe Kuto Malang, Jembatan Suramadu, Perempatan Sleko Madiun, dll.


Ada juga kearifan lokal bernuansa destinasi wisata, belanja, dan kuliner seperti Pantai Klayar Pacitan, Pantai Parangtritis Yogya, Hotel Malioboro, Lintang Ponorogo, Nglanggeran Wonosari Yogya, Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, Jalan Tembus Karanganyar-Magetan, Pasar Klewer, Kopi Lampung, Empek-empek, Gethuk, dll.
  
Dari tempat-tempat bernuansa kearifan lokal dan destinasi wisata, belanja, serta kuliner di atas, sepuluh lagu Didi Kempot yang paling hits bikin hati ambyar adalah Sewu Kuto, Stasiun BalapanCidro, Suket Teki, Layang Kangen, Kalung EmasPamer Bojo, Banyu Langit, Perempatan Sleko, dan Dalan Anyar. Bagi para secret admirer alias pemuja rahasia, lagu-lagu ini akan mengupak emosi mereka.

Mungkin hanya puluhan –tidak sampai seratus– dari 800 lebih lagu Didi Kempot yang berkisah tentang kasmaran dan patah hati. Tetapi, setiap lagu yang dinyanyikannya, mampu membuat para fans Didi Kempot seperti kabur kanginan diayun perasaan cidro karena patah hati.

Aksi panggung Didi Kempot di awal Juni 2019 yang dianggap metal (mellow total), membuatnya makin terkenal di kalangan millenials karena lagunya yang terkesan galau. Sejak itulah Didi Kempot mendapat julukan sebagai Godfather of Broken Heart. Di bulan September, para fans menjuluki diri mereka Sad Boy dan Sad Girl karena terkesan galau melulu.

Akhir 2019 berawal dari Instagram dan Twitter, nama Sad Boy dan Sad Girl melebur jadi satu dengan nama baru Sobat Ambyar. Sobat Ambyar memiliki arti sebagai sobat patah hati yang hatinya hancur dengan lagu-lagu dari Didi Kempot. Sejak itu tagar #SobatAmbyar sering wara-wiri di jagad media sosial.
Satu dari sekian album debutan Didi Kempot semenjak masuk dapur rekaman

Didi Kempot yang nama aslinya Dinosius (Didi) Prasetyo telah ”pulang kampung” ke Haribaan Ilahi Rabbi. Ia mengembuskan napas terakhir di RS Kasih Ibu, Surakarta, dalam usia 53 tahun pada pukul 07.46 WIB. Penyebab kematiannya diduga karena serangan jantung. Tetapi, menurut asisten pribadinya, Jasmani, Didi Kempot sempat mengeluhkan sakit dalam kurun waktu seminggu terakhir.


Serangan jantung (infark miokard) terjadi akibat terhambatnya aliran darah ke otot jantung. Penyebab utama kondisi ini adalah penyakit jantung koroner, yaitu tersumbatnya pembuluh darah arteri yang memasok darah ke jantung (pembuluh darah koroner), akibat timbunan kolesterol yang membentuk plak di dinding pembuluh darah.

Serangan jantung (sindrom koroner akut) diperparah dengan terbentuknya gumpalan darah yang dapat menyumbat total pembuluh darah dan menimbulkan serangan jantung. Kondisi tersebut terjadi perlahan, biasanya didahului dengan sesak napas berat, pusing, gelisah, keringat dingin, dan denyut jantung yang semakin melemah.

Di akhir-akhir masa hidupnya, Didi Kempot mengorbitkan Arda, penyanyi tunanetra memopulerkan lagu Ora Biso Mulih. Bocah bersuara emas itu telah membawakan delapan lagu ciptaan Didi Kempot, yaitu Ora Biso Mulih, Kagem Ibu, Tatu, Tulung, Ayah, Rembulan, Kangen Nickerie, Gede Roso

Didi Kempot juga berkolaborasi dengan Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo, menyadarkan masyarakat untuk tidak mudik melalui lagu barunya Ojo Mudik. Melalui lagu itu, pesan yang ingin disampaikan adalah dengan tidak mudik diharapkan persebaran virus Covid-19 dapat diputus mata rantainya. Para pemudik aman, keluarga di kampung halaman juga aman.

Sepertinya lagu Ojo Mudik menjadi lagu pamungkas di sepanjang kariernya menelurkan 800 lebih karya cipta lagu-lagu bergenre campursari dan tembang jawa pop, yang mengusung tema kasmaran, patah hati, dan motivasi untuk menyemangati TNI/Polri dalam bertugas mengayomi masyarakat dan mempertahankan kedaulatan negara.

Paribasan awak urip kari balung dalam lagu Suket Teki, seperti menyiratkan kenyataan karena kini Didi Kempot sudah berpindah ke alam yang lain, namun karyanya tetap akan dikenang oleh para pendengar. Di buku Laki-Laki yang tak Berhenti Menangis, Rusdi Mathari (12/10/1967 – 2/3/2018), menulis ”Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian.”

Sobat Ambyar harus berbesar hati menerima kenyataan konser Ambyar Tak Jogeti yang rencananya akan digelar di GBK pada 10 Juli 2020 mendatang, namun karena ada pandemi Covid-19 tanggal konser dimundurkan menjadi 14 November 2020. Belum jelas akan kelanjutan konser tersebut setelah kepergian Sang Maestro memenuhi takdir Tuhan menghadap-Nya.

Padahal sejak 1 Mei telah dibuka Pre-Sale tiketnya. Konser impian Didi Kempot itu rencananya adalah bentuk perayaan 30 tahun karirnya di ranah musik Indonesia. Selain konser perayaan 30 tahun berkarya, Didi Kempot juga direncanakan tampil di Konser Symphony of Heroes pada 20 November 2020 bertempat di Stadion Joyo Kusumo, Pati, Jawa Tengah.

Selain dua konser di atas, film Sobat Ambyar telah merilis poster pada 23 Februari 2020 dan direncanakan filmnya akan tayang tahun ini juga. Didi Kempot bertindak sebagai produser bersama sejumlah rumah produksi. Disutradarai Charles Gozali, menampilkan para pemain seperti Dede Satria, Denira Wiraguna, Asri Welas, dan Sisca JKT48. 

Kembali ke judul tulisan ini, ’sekali berarti sesudah itu mati.’ Begitulah kiranya Glenn Fredly yang selain penyanyi juga aktivis lintas agama, lingkungan hidup, dan kemanusiaan. Pun Didi Kempot, dengan lagu-lagunya yang meski mellow namun menghibur dan menyatukan fans dalam kebersamaan. Lihatlah setiap penampilan Glenn Fredly dan Didi Kempot, penonton selalu tumplek blek saking membludaknya.
  
Glenn Fredly pun merencanakan akan menggelar konser 25 tahun karier bermusiknya. Glenn Fredly memimpinkan di konser itu akan berduet dengan Didi Kempot. Apadaya, manusia hanya bisa berencana, namun Tuhan jua yang maha menentukan. Tuhan menakdirkan mereka berdua ”bertemu” di tempat lain. ”Bernyanyilah di Surga” 

Fans Didi Kempot tidak saja datang dari mereka yang beretnis Jawa yang mampu mencerna lirik lagunya, tetapi mereka yang beretnis non-Jawa juga turut menggemari lagu-lagunya. Bukan hanya dari kaum marginal ”kampungan” yang tak usai dirundung malang, tetapi juga kalangan ”kampusan” mahasiswa/mahasiswi yang lebih rentan patah hati karena kena tikung teman dan dipameri bojo oleh mantannya.

Meski Glenn Fredly dan Didi Kempot telah tiada, namun karya keduanya akan abadi dalam kenangan. Usai sudah mereka berdua menorehkan bakti. Sekali lagi, ”Seorang filsuf Yunani pernah menulis; nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah yang berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

Lini masa media sosial facebook, Twitter, Instagram, Blog, dan media berita cetak dan online dipenuhi dengan ucapan duka disertai tagar #SobatAmbyarBerduka. Selamat jalan, Didi Kempot!


.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan