Wamena dalam Puisi




Kawasan Menara Salib, ikon wisata baru di kota Wamena (foto: Kompas Properti) 


Wamena, Mutiara yang Terpecah

lembaran cerita tentang surga yang tersembunyi                                                             
sebutkanlah apa nama kitabnya, ingin kumengkaji
diumpamakan ia bak mutiara, jenis apakah kiranya
katakanlah di mana tempatnya, ingin kumenggalinya

aku ingin merantau ke surga itu, meski jauh tempatnya
seperti mereka yang datang terlebih dahulu ke sana
dari jauh dan bermacam-macam suku, etnis, dan rasnya
karena tergiur kilau mutiara itu, mutiara dalam surga

tetapi, sungguh tak terperi beratnya perjalanan ke sana
surga bermutiara, di pedalaman dan lembah tempatnya
di ketinggian yang sejuk udaraanya, tak terperi indahnya
pegunungan tengah Papua, Kota Wamena, itulah dia

ya, Wamena itu surga dalam cerita, entah apa kitabnya
bagai mutiara yang belum sempurna, tapi kilaunya nyata
banyak pendatang ingin membentuknya agar sempurna
mengasah mutiara menjadi berkilau dan lebih berharga

*
yang berjiwa pedagang perantau, seperti urang Minang
bertekad pergi meninggalkan nagari, merasa tertantang
terbang ke Wamena, membuka ’rumah makan padang’
biar penduduk di sana kenal dengan balado dan randang

tinggallah wahai nagari, izinkan kami pergi membawa adat
petuah ninik mamak berpegang teguh pada tiga syarat:
’jangan berzina, jangan mencuri, jangan tinggalkan salat’
’dima bumi dipijakdisinan langik dijunjuang’ jadi azimat

bukan salah bungo limbayuangsalah dek banda mangulito
bukan salah bunga lembayung, salahnya bamban manggelita
bukan salah bundo manganduangsalah dek badan nan buruak pinto
bukan salah bunda mengandung, salahnya badan yang buruk pinta

sabalun aja bapantang matinamun di dalam kabanaran
sebelum ajal berpantang mati, namun di dalam kebenaran
bia dipancuang lihia putuihsatapak nan jaan namuah suruik
biar putus leher dipancung, setapak jangan mau mundur

*
selain perantau Minang ada pula perantau dari Bugis
pelaut ulung itu sebenarnya orang Mandar, bukan Bugis
melalui lautlah mereka berdagang sampai meraih sukses
di mana-mana mereka mendirikan loji ”Kampung Bugis”

berani arungi samudera, taklukkan ombak yang ganas
menarik perhatian Christian Pelras, seorang Prancis
awalnya tertarik budaya melayu, ia meneliti orang Bugis
dari penelitiannya itu, ia catat dalam buku ”The Bugis”

sama seperti urang Minang, orang Bugis juga punya budaya
semboyan: ”di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung”
menjadikan orang Bugis bisa diterima di mana-mana
umumnya mereka menetap di rantauan, enggan pulang

prinsip mereka, di mana hasil usaha dibelanjakan di sana
mereka bangun rumah di rantau, bukan di kampung halaman
kalaupun investasi di kampung, wujudnya membangun masjid
membangunkan rumah orang tua atau dalam bentuk lainnya

*
orang Jawa pun menjadi bagian perantau di Wamena
watak pekerja keras dan tak pilih-pilih, apa pun mereka bisa
mau berdagang, ngulingajarngasuh, atau apa pun kerja
sing penting nyambut gawearto moro, begitu falsafahnya

mau ngojek, angkut-angkut dan angkat-angkat, mereka oke
mereka kerjakan setulus hati, sesenangnya, bukan sakpenake
dorang bagian dari ribuan derap kaki pergi nyambut gawe
menuju pasar, kantor, lembah, ngarai, dari pagi sampai sore

kais rezeki demi harkat diri, tak pilih-pilih apa pun diupayakan
mereka jadi bagian dari ribuan asa setiap hari dikembangkan
kaki bergerak, jalan perlahan bahkan berlari, nggolek pangan
dorang trapapa kerja apa pun, tramau diam berpangku tangan

kalaupun tak punya usaha sendiri, tak apa mereka jadi pekerja
menjadi buruh pada majikan yang memberinya lapangan kerja
dengan bayaran yang mereka terima, bisa menghidupi keluarga
begitulah kegaliban, tak sia-sia merantau jauh sampai Wamena

*
mereka, orang Minang, Bugis, dan Jawa, hidup berdampingan
merasa diterima oleh penduduk asli Papua, guyub dan rukun
sila Persatuan Indonesia, sepertinya benar-benar dijalankan
hidup damai meski berbeda suku, etnis, ras, dan keyakinan

Bhinneka Tunggal Ika, tak perlu sekadar didengung-dengungkan
di sana terlaksana dalam praktik nyata, bukan sebatas mantra
Bahasa Persatuan dijunjung menjadi alat penyatu percakapan
betapa cerdasnya gagagasan merumuskan Soempah Pemoeda

simbiosis mutualisme antarmereka terbangun atas kebutuhan
pemilik usaha dan pekerja diikat oleh rasa saling membutuhkan
bahwa kehidupan harus diperjuangkan guna meraih kesetaraan
mereka berbagi peran, pasar-pasar bersama mereka hidupkan
  
tetapi, tak selamanya kedamaian itu abadi. Kerusuhan pun pecah
kehidupan mereka di surga tersembunyi tiba-tiba berubah rupa
semula tenang, tiba-tiba darah tumpah saat Wamena membara
semula bak mutiara berkilau berubah jadi mutiara yang terpecah


Kemiling Permai, 22 Oktober 2019


***

Terus terang, butuh waktu lama untuk menulis puisi di atas. Pilihan diksi dan alur cerita yang disarikan dari tragedi ”Wamena Membara” tidaklah segampang menulis puisi bertema cinta, yang umumnya berkelindan di seputar masalah perasaan. Mencari akar masalah mengapa Rusuh Wamena bisa terjadi pun bukan perkara mudah. Kalau salah menganalisis dan menyimpulkan, bisa jadi justru akan melahirkan masalah baru.

Karenanya, saya lebih ’meneropongnya’ dari segi humanis, yaitu adat budaya dan jiwa petualang dari suku-suku yang terlibat di dalamnya. Di Sumatera Barat, itu konon ada satu nagari (kampung/desa) yang sudah tidak berpenghuni karena semuanya pergi merantau. Pasalnya, jiwa dagang yang melekat pada individu urang Minang-lah yang menjadi pendorong. Umumnya mereka merantau dan menjadi pedagang di Jakarta. Tetapi, belakangan ternyata sampai Papua juga.

Demikian juga orang Bugis (To Ugi), terkenal sebagai pedagang dan pelaut ulung, sehingga di seluruh Provinsi di Indonesia sangat mudah bisa menemukan orang Bugis. Tidak hanya menyebar di Provinsi Sulawesi, tapi juga di Kalimantan, Sumatera, DKI Jakarta, Papua, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Di tanah rantau mereka menetap dan beranak pinak, keturunannya lalu menjadi warga di tempat merantau tersebut.

Orang Jawa lebih mobile lagi. Sejarah keberadaan transmigrasi di Desa Bagelen, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung, adalah saat pemerintah Kolonial Belanda membutuhkan tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian di Lampung. November 1905 Belanda memindahkan 155 KK (815 jiwa) dari Desa Bagelen (sebuah desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah) ke sebuah hutan belantara di Lampung melalui program perluasan areal pertanian (kolonisasi).

Nah, cikal bakal keberadaan Desa Bagelen di Pringsewu, Lampung, itu karena orang Jawa asal Purworejo itu menamai desa baru tempat mereka bermukim itu sama persis seperti desa tempat asal mula nenek moyang mereka. Bahkan desa-desa lainnya pun dinamai sama seperti asal mula kedatangan mereka. Ada Wonosobo, Klaten, Gadingrejo, Banyumas, Kedu, Kediri, Tulungagung, Kutoarjo, dll.

Program kolonisasi tak hanya menyasar orang Jawa, orang Madura dan Bali pun masuk program pada tahun 1950-1969, dipindahkan ke Lampung terutama ketika Gunung Agung di Bali meletus pada tahun 1963. Kebijakan transmigrasi ini kemudian berlanjut di masa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto (1967-1998). Tanpa disadari, program transmigrasi inilah yang kelak menjadi pemicu terjadinya kerusuhan antara penduduk lokal dengan pendatang.

***

Dari penelusuran, seperti dirilis Kompas.com, kerusuhan Wamena, Senin (23/9/2019), menurut Kapolda Papua Irjen Rudolf A. Rodja dipicu kabar hoaks tentang seorang guru di SMA PGRI mengeluarkan kata-kata rasis di sekolah, sehingga sebagai bentuk solidaritas mereka melakukan aksi. Rudolf mengklaim kepolisian sudah mengonfirmasi isu tersebut dan memastikannya tidak benar.

”Guru tersebut sudah kita tanyakan dan tidak ada kalimat rasis, itu sudah kita pastikan. Jadi kami berharap masyarakat di Wamena dan di seluruh Papua tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang belum tentu kebenarannya,” ujar Rudolf di Jayapura, Senin (23/9/2019).

Komnas HAM menyebut kerusuhan yang terjadi di Wamena, disebabkan oleh kesalahpahaman terkait isu seorang guru yang disebut melecehkan muridnya dengan perkataan bernada rasial. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, kesalahpahaman itu terjadi ketika seorang guru di SMA PGRI tengah mengajar dan meminta seorang muridnya untuk berbicara lebih keras.

”Ada seorang guru, itu guru pengganti jadi ketika mengajar sebetulnya kalau menurut versi ibu ini dia tidak mengucapkan ’kera’ tapi ’keras’,” kata Taufan di Kantor Komnas HAM, Senin (30/9/2019). Taufan menuturkan, mulanya peristiwa yang terjadi pas Rabu (18/9/2019) itu tak menjadi persoalan. Persoalan baru muncul minggu berikutnya yaitu pada Senin (23/9/2019).

Dan, seperti yang dirilis media, aksi anarkistis di Wamena, akhirnya melahirkan kesedihan mendalam. Banyak pengungsi yang hanya dengan pakaian melekat di badan karena rumahnya ludes dibakar. Kios, ruko, lapak-lapak di pasar, perkantoran, bank, dan fasilitas umum juga membara dilahap si jago merah. Harta benda ludes seludes-ludesnya.

Para pengungsi (penduduk lokal dan pendatang) sama-sama dilanda trauma, masih ingin kembali ke Wamena, namun ada kekhawatiran. Wamena mereka pandang sebagai tempat yang menjanjikan, yang selama ini telah menempa keuletan mereka dalam kerja yang produktif. Wamena yang mereka ’asah’ sehingga berkilau bak mutiara yang menyilaukan. Kok bisa membara seketika, melahap habis hasil usaha mereka bertahun-tahun. 

(ZY/dbs)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan