Pendidikan Karakter yang Terlupakan

Anak belajar Bahasa Inggris (Foto: SehatQ) 


”Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, 

memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”

– Tan Malaka –


Pendidikan, dari kacamata Ki Hadjar Dewantara (1889-1959), adalah sebuah upaya untuk menyempurnakan manusia. Secara mendetail, Ki Hadjar Dewantara (dalam Marzuki dan Khanifah, 2016, h.175) mendefinisikan pendidikan sebagai upaya ”menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan serta kebahagiaan yang setingi-tingginya.”

Kebahagiaan sebagai Tujuan Pendidikan

Pendidikan memang seyogianya berlandaskan pada kebahagiaan dan berorientasi pada pembentukan karakter yang membahagiakan, bukan sebaliknya. Ki Hadjar pun sudah lama menyadari itu.

Menurutnya, sistem pendidikan penjajah Belanda yang bersifat perintah, hukuman, serta ketertiban (regering, tucht, orde) cenderung merugikan mentalitas, prinsip, dan identitas pelajar pribumi. Pasalnya, metode tersebut justru menjurus pada upaya pembentukan karakter rakyat jajahan yang menguntungkan si pihak penjajah sekaligus membuat mereka lebih haus akan jabatan dan kekayaan.

Sayangnya, metode pedagogi bernuansa kolonial itu masih belum terkelupas dalam praksisnya di Tanah Air. Sementara Finlandia –yang sejak era milenium dipandang sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik sedunia– sudah menyadari manfaat dari pengkondisian aktivitas belajar-mengajar yang fun. Mereka sendiri sudah menerapkan kurikulum berbasis kebahagiaan di sekolah-sekolah komprehensifnya (sekolah tingkat menengah yang mengombinasikan kurikulum sekolah umum, sekolah teknik, dan sekolah modern) sejak tahun 2016.

Karakter plus Humor

Fenomena kekerasan dalam pendidikan Indonesia seperti tawuran antarpelajar dan penganiayaan guru terhadap murid atau bahkan sebaliknya, bisa ditekan dengan proses pendidikan karakter yang mengadopsi humor. Sebab, dari kajian yang sudah dilaksanakan, humor di kelas memunyai banyak dampak positif. Saat dipraktikkan dengan wajar di dalam kelas, humor dapat memfokuskan, memicu ketertarikan dan kreativitas, hingga meredam stres para siswa.

Ilmu, Seni, dan Humor

Kedudukan antara ilmu pengetahuan (discovery), seni (art) dan humor berada pada level yang sama dalam pendidikan. Korelasi ketiganya bisa mengutuhkan manusia menurut khitah Ki Hadajr Dewantara.
Ilmu pengetahuan akan membuat seseorang jadi mengerti. Seni membuat seseorang mengenal rasa takjub. Sedangkan humor menyempurnakan proses intelektual manusia dengan kemampuan mencerna realita lewat kejenakaan subjektif. Dalam tinjauan lebih jauh, humor pun bisa menjadi impuls perubahan sosial karena keleluasaannya mewadahi dialog ide-ide baru.

Lebih kurang, inilah unsur-unsur yang juga melicinkan internalisasi konsep Tri-Ng dari Ki Hadjar Dewantara yang terkenal itu dalam diri pelajar, yang terdiri dari Ngerti (kognitif), Ngrasa (afektif), dan Nglakoni (psikomotorik).

Pendidikan dibutuhkan untuk membentuk insan yang ”kritis dalam intelektual, kreatif dalam pemikiran, etis dalam pergaulan.” Untuk itulah, penyadaran kembali dan perwujudan akan vitalnya unsur kebahagiaan dalam pendidikan seperti tertuang dalam orakel Ki Hadjar Dewantara. Nah, dalam rangka menjawab tantangan abad 21 saat ini, pendidikan adalah ujung tombaknya. Untuk mewujudkan pendidikan yang membahagiakan itu menjadi tugas kita bersama.

(ZY/dbs)


#SelamatHariGuru2019
#HUTke-74PGRI2019

  
Link lainnya: https://geotimes.co.id/opini/manifesto-pendidikan-karakter-ki-hajar-dewantara-yang-terlupakan/



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan