Polemik Hari Sekolah Berakhir
Pro-Kontra Full Day School
Selasa (7/8/2016)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan kepada Presiden
Joko Widodo, perihal upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menerapkan
kebijakan sekolah lima hari yang berarti delapan jam belajar bagi siswa sebagai
bagian Pendidikan Pengembangan Karakter.
Namun,
kebijakan yang kemudian di mata publik disamakan dengan sistem full day school (FDS) itu mendapat penolakan
dari sejumlah khalayak. Karena dengan 8 jam belajar di sekolah akan membuat
anak-anak tidak ada waktu lagi untuk belajar mengaji di sore hari. Dampak ekstremnya,
sekolah Madrasah Diniyah akan kekurangan murid. Karena murid lembaga pendidikan
berbasis agama ini tak lain adalah murid-murid SD dan SMP.
Senin (12/6/2017)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengesahkan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23/2017 tentang Hari Sekolah. Meski ada
penolakan dari sejumlah khalayak terutama pimpinan lembaga pendidikan berbasis
agama seperti Madrasah Diniyah dan Pesantren atau TPA, toh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan bergeming.
Selasa (13/6/2017)
Komisi X DPR meminta kebijakan lima hari sekolah tidak dipaksakan di semua
sekolah, tetapi sebagai pilihan sesuai dengan kebutuhan. Namun, meski dengan
berat hati, kebijakan Mendikbud ini telanjur dilaksanakan di sekolah SMP dan SMA
di hampir semua wilayah Indonesia. Kecuali SD masih menerapkan enam hari
sekolah.
Senin (19/6/2017)
diadakan pertemuan antara Presiden, Mendikbud, Rais Aam PBNU Ma’ruf Amin
membahas kebijakan sekolah lima hari di Istana Merdeka, Jakarta. Ma’ruf Amin
mengumumkan penundaan kebijakan sekolah lima hari. Tapi, tidak serta merta
mengembalikan pada aturan semula. Faktanya, di lapangan sekolah-sekolah
telanjur memberlakukan lima hari sekolah dengan waktu belajar selama 8 jam.
Kamis (10/8/2017)
Presiden menegaskan, penerapan sekolah lima hari bisa dilakukan jika semua
unsur pendukung siap dan mendukung. Namun, hal ini tidak wajib. Presiden menyatakan,
tidak ada keharusan bagi seluruh sekolah di Indonesia melaksanakan program lima
hari kegiatan belajar-mengajar. Menurutnya, program full day school belum dilaksanakan secara merata karena kesiapan
masing-masing sekolah berbeda.
Meski
demikian, Presiden menegaskan kebijakan full
day school dapat dilanjutkan bagi sekolah yang sudah siap dan selama ini telah
melaksanakan kebijakan itu. ”Silakan dilanjutkan. Jadi Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No 23/2017 tentang Hari Sekolah diganti dengan Peraturan Presiden
No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Lengkapnya tanyakan
Mensesneg,” katanya hari itu.
Meredam Polemik
Rabu (6/9/2017),
Presiden Joko Widodo mengumumkan langsung terbitnya Peraturan Presiden No
87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), di Istana Merdeka, Jakarta.
Penandatanganan Perpres dilakukan Presiden di hadapan sejumlah ulama dan
pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam. Hadir di antaranya Ketua Umum PBNU
Said Aqil Siroj, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI Zainut
Tauhid Sa’adi, Wakil Ketua Umum ICMI Priyo Budi Santoso.
Dengan terbitnya
Perpres (Perpres) No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
tersebut diharapkan menjadi peredam polemik atau pro-kontra dari berbagai
elemen masyarakat terhadap Permendikbud No 23/2017 tentang Hari Sekolah. Perpres
87/2017 tersebut membebaskan sekolah atau madrasah menerapkan Penguatan Pendidikan
Karakter selama lima atau enam hari sepekan.
Definisi PPK:
Gerakan
pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter
peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir dan olahraga
dengan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. (Pasal
1).
Tujuan PPK:
1. Membangun
dan membekali peserta didik dengan jiwa Pancasila dan pendidikan karakter guna
menghadapi dinamika perubahan.
2. Mengembangkan
platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa
utama peserta didik dengan dukungan pelibatan publik melalui pendidikan jalur
formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan keberagaman budaya
Indonesia.
3. Merevitalisasi
dan menemperkuat potensi dan kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, peserta
didik, masyarakat dan lingkungan keluarga dalam mengimplementasikan PPK. (Pasal
2).
Perpres dirumuskan berdasarkan masukan dari pimpinan ormas Islam, baik NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Al Washliyah, Persis, MUI, maupun ICMI. Menyempurnakan ketentuan sebelumnya, Perpres 87/2017 membebaskan lembaga pendidikan formal, baik sekolah maupun madrasah, memilih waktu penyelenggaraan PPK. Dalam Pasal 9 diatur, sekolah dapat melaksanakan pendidikan selama lima atau enam hari dalam satu pekan.
Bertentangan dengan UU Sisdiknas
Terbitnya
Perpres untuk memperkuat Permendikbud menyangkut lima hari sekolah, disambut baik oleh kalangan ormas Islam, termasuk PBNU yang selama ini menolak pelaksanaan Penguatan Pendidikan karakter selama lima hari sekolah. PP Muhammadiyah juga menyambut baik Perpres tersebut.
Lain halnya dengan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto. Dia menyatakan Penguatan Pendidikan Karakter tak selalu bisa dicapai dengan penerapan kebijakan lima hari sekolah. Salah satunya dengan memperhatikan perbedaan kultur sosial budaya di setiap daerah di Indonesia.
Lain halnya dengan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto. Dia menyatakan Penguatan Pendidikan Karakter tak selalu bisa dicapai dengan penerapan kebijakan lima hari sekolah. Salah satunya dengan memperhatikan perbedaan kultur sosial budaya di setiap daerah di Indonesia.
Susanto mengingatkan
bahwa penerapan secara merata lima hari sekolah tersebut, bisa bertentangan
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas). Pada pasal 51 UU tersebut, diatur tentang otonomi sekolah yang
artinya sekolah memiliki hak untuk memilih sistem apa yang akan diterapkan. ”Berikan
otonomi sepenuhnya ke sekolah dengan kebutuhan masing-masing,” kata Susanto.
”Sosio
kultur berbeda, keragaman, kebutuhan orang tua juga berbeda. Di daerah tertentu
cocok (kebijakan sekolah lima hari), tapi di kelompok masyarakat mungkin lebih
cocok dengan half day school. Penerapan
kebijakan lima hari sekolah itu juga berpotensi melanggar Undang-undang tentang
Perlindungan Anak (UUPA).
KPAI
berpendapat penyamarataan jam belajar untuk membiarkan anak menetap lebih lama
di sekolah melanggar hak orang tua untuk memiliki waktu yang seimbang bertemu
dengan anaknya. Selain itu, bagi anak sendiri waktu untuk berinteraksi dengan
teman sebaya di luar jam belajar juga berkurang.
”Pasal 23
ayat 1 UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, negara, pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak
dengan memerhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang
secara hukum bertanggungjawab terhadap anak,” ujar Susanto.
Perbaiki Kualitas Guru
KPAI mendorong
pemerintah agar fokus pada peningkatan kualitas guru, serta perbaikan sarana
dan prasarana di sekolah. Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti
mengatakan, perbaikan guru lebih bijak dibanding mengedepankan kebijakan
sekolah lima hari yang dinilai sebagai pengembangan karakter.
”Bagaimana
meningkatkan kualitas guru, makin lama belajar di sekolah kalau guru tidak bisa
mengelola, kelas jadi tempat yang boring.
Ini tidak cuma kebutuhan kemampuan guru tapi ada sarana prasarana. Toh ada sarana
prasarana tapi kualitas guru tidak dipenuhi juga percuma,” ujar Retno.
Komentar
Posting Komentar