Polemik Hari Sekolah Berakhir


Pro-Kontra Full Day School

Selasa (7/8/2016) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo, perihal upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menerapkan kebijakan sekolah lima hari yang berarti delapan jam belajar bagi siswa sebagai bagian Pendidikan Pengembangan Karakter.  

Namun, kebijakan yang kemudian di mata publik disamakan dengan sistem full day school (FDS) itu mendapat penolakan dari sejumlah khalayak. Karena dengan 8 jam belajar di sekolah akan membuat anak-anak tidak ada waktu lagi untuk belajar mengaji di sore hari. Dampak ekstremnya, sekolah Madrasah Diniyah akan kekurangan murid. Karena murid lembaga pendidikan berbasis agama ini tak lain adalah murid-murid SD dan SMP.
Presiden Joko widodo, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj (kiri), Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas (ketiga dari kiri), dan pimpinan sejumlah ormas Islam lainnya memberikan keterangan kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (6/9). Dalam kesempatan itu, Presiden mengumumkan Peraturan Presiden No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) telah ditandatangani.
foto: repro Kompas, Kamis (7/9).

Senin (12/6/2017) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23/2017 tentang Hari Sekolah. Meski ada penolakan dari sejumlah khalayak terutama pimpinan lembaga pendidikan berbasis agama seperti Madrasah Diniyah dan Pesantren atau TPA, toh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bergeming.

Selasa (13/6/2017) Komisi X DPR meminta kebijakan lima hari sekolah tidak dipaksakan di semua sekolah, tetapi sebagai pilihan sesuai dengan kebutuhan. Namun, meski dengan berat hati, kebijakan Mendikbud ini telanjur dilaksanakan di sekolah SMP dan SMA di hampir semua wilayah Indonesia. Kecuali SD masih menerapkan enam hari sekolah.

Senin (19/6/2017) diadakan pertemuan antara Presiden, Mendikbud, Rais Aam PBNU Ma’ruf Amin membahas kebijakan sekolah lima hari di Istana Merdeka, Jakarta. Ma’ruf Amin mengumumkan penundaan kebijakan sekolah lima hari. Tapi, tidak serta merta mengembalikan pada aturan semula. Faktanya, di lapangan sekolah-sekolah telanjur memberlakukan lima hari sekolah dengan waktu belajar selama 8 jam.

Kamis (10/8/2017) Presiden menegaskan, penerapan sekolah lima hari bisa dilakukan jika semua unsur pendukung siap dan mendukung. Namun, hal ini tidak wajib. Presiden menyatakan, tidak ada keharusan bagi seluruh sekolah di Indonesia melaksanakan program lima hari kegiatan belajar-mengajar. Menurutnya, program full day school belum dilaksanakan secara merata karena kesiapan masing-masing sekolah berbeda.

Meski demikian, Presiden menegaskan kebijakan full day school dapat dilanjutkan bagi sekolah yang sudah siap dan selama ini telah melaksanakan kebijakan itu. ”Silakan dilanjutkan. Jadi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23/2017 tentang Hari Sekolah diganti dengan Peraturan Presiden No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Lengkapnya tanyakan Mensesneg,” katanya hari itu.

Meredam Polemik

Rabu (6/9/2017), Presiden Joko Widodo mengumumkan langsung terbitnya Peraturan Presiden No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), di Istana Merdeka, Jakarta. Penandatanganan Perpres dilakukan Presiden di hadapan sejumlah ulama dan pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam. Hadir di antaranya Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Ketua Umum ICMI Priyo Budi Santoso.

Dengan terbitnya Perpres (Perpres) No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) tersebut diharapkan menjadi peredam polemik atau pro-kontra dari berbagai elemen masyarakat terhadap Permendikbud No 23/2017 tentang Hari Sekolah. Perpres 87/2017 tersebut membebaskan sekolah atau madrasah menerapkan Penguatan Pendidikan Karakter selama lima atau enam hari sepekan.

Definisi PPK:
Gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir dan olahraga dengan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. (Pasal 1).

Tujuan PPK:
1.  Membangun dan membekali peserta didik dengan jiwa Pancasila dan pendidikan karakter guna menghadapi dinamika perubahan.
2.  Mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama peserta didik dengan dukungan pelibatan publik melalui pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan keberagaman budaya Indonesia.
3.  Merevitalisasi dan menemperkuat potensi dan kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, masyarakat dan lingkungan keluarga dalam mengimplementasikan PPK. (Pasal 2).

Perpres dirumuskan berdasarkan masukan dari pimpinan ormas Islam, baik NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Al Washliyah, Persis, MUI, maupun ICMI. Menyempurnakan ketentuan sebelumnya, Perpres 87/2017 membebaskan lembaga pendidikan formal, baik sekolah maupun madrasah, memilih waktu penyelenggaraan PPK. Dalam Pasal 9 diatur, sekolah dapat melaksanakan pendidikan selama lima atau enam hari dalam satu pekan.

Bertentangan dengan UU Sisdiknas

Terbitnya Perpres untuk memperkuat Permendikbud menyangkut lima hari sekolah, disambut baik oleh kalangan ormas Islam, termasuk PBNU yang selama ini menolak pelaksanaan Penguatan Pendidikan karakter selama lima hari sekolah. PP Muhammadiyah juga menyambut baik Perpres tersebut.   

Lain halnya dengan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto. Dia menyatakan Penguatan Pendidikan Karakter tak selalu bisa dicapai dengan penerapan kebijakan lima hari sekolah. Salah satunya dengan memperhatikan perbedaan kultur sosial budaya di setiap daerah di Indonesia.

Susanto mengingatkan bahwa penerapan secara merata lima hari sekolah tersebut, bisa bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pada pasal 51 UU tersebut, diatur tentang otonomi sekolah yang artinya sekolah memiliki hak untuk memilih sistem apa yang akan diterapkan. ”Berikan otonomi sepenuhnya ke sekolah dengan kebutuhan masing-masing,” kata Susanto.

”Sosio kultur berbeda, keragaman, kebutuhan orang tua juga berbeda. Di daerah tertentu cocok (kebijakan sekolah lima hari), tapi di kelompok masyarakat mungkin lebih cocok dengan half day school. Penerapan kebijakan lima hari sekolah itu juga berpotensi melanggar Undang-undang tentang Perlindungan Anak (UUPA).

KPAI berpendapat penyamarataan jam belajar untuk membiarkan anak menetap lebih lama di sekolah melanggar hak orang tua untuk memiliki waktu yang seimbang bertemu dengan anaknya. Selain itu, bagi anak sendiri waktu untuk berinteraksi dengan teman sebaya di luar jam belajar juga berkurang.

”Pasal 23 ayat 1 UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, negara, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memerhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak,” ujar Susanto.

Perbaiki Kualitas Guru

KPAI mendorong pemerintah agar fokus pada peningkatan kualitas guru, serta perbaikan sarana dan prasarana di sekolah. Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, perbaikan guru lebih bijak dibanding mengedepankan kebijakan sekolah lima hari yang dinilai sebagai pengembangan karakter.

”Bagaimana meningkatkan kualitas guru, makin lama belajar di sekolah kalau guru tidak bisa mengelola, kelas jadi tempat yang boring. Ini tidak cuma kebutuhan kemampuan guru tapi ada sarana prasarana. Toh ada sarana prasarana tapi kualitas guru tidak dipenuhi juga percuma,” ujar Retno.

n dari berbagai sumber

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan