Indahnya Kebersamaan

Runtuhnya Orde Baru dan lahirnya Era Reformasi membawa perubahan cukup signifikan bagi tatanan kehidupan sosial dan beragama. Di masa Orde Baru semuanya serba teratur dan satu padu, begitu muncul Era Reformasi ada yang berubah. Terutama dalam hal permulaan ibadah puasa, tak lagi bersama. Kalangan Muhammadiyah duluan satu hari dan warga nahdiyin baru mulai keesokan harinya mengikuti ketetapan pemerintah. Dasarnya memegang prinsip samikna wa atokna (mengikuti dan taat) kepada pemimpin (Pemerintah).

Padahal, betapa indahnya kebersamaan. Untuk merajut kebersamaan itulah sehingga menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sudah dua tahun ini menggelar sidang isbat penentuan awal Ramadhan secara tertutup. Padahal, sebelumnya disiarkan secara langsung oleh televisi. Dengan demikian, tidak bisa lagi publik menyaksikan secara langsung perdebatan sengit di antara para peserta sidang. Tidak lagi bisa mendengar serta mengenal siapa peserta sidang isbat yang paling ngotot, yang paling banyak mengemukakan argumentasi dan dalil-dalil, serta siapa yang karakternya bla-bla-bla…

Dalam menentukan hilal bisa dipakai dua cara, yaitu dengan kaidah ilmu pengetahuan modern (yang disebut juga dengan hisab) dan dengan kaidah konvensional (disebut rukyat). Padahal, kedua kaidah ini bisa dipadukan dan hasilnya akan lebih akurat. Selama ini, yang terjadi adalah kedua kaidah tersebut dipakai secara sendiri-sendiri, sehingga hasilnya pun sendiri-sendiri. Ujungnya terjadi perbedaan dalam menentukan permulaan puasa Ramadhan dan juga hari raya Idul Fitri.
  
Pemerintah sebagai penengah memang tidak bisa mengambil sikap secara tegas. Karena, kebebasan menjalankan ibadah telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Atas dasar ini pemerintah tak punya otoritas untuk memulai atau mengakhiri ibadah tiap-tiap umat beragama. Meski demikian, pemerintah harus bertindak bijak dan jernih dalam memandang persoalan hilal. Agar kepentingan umat Islam secara umum tidak tersandera oleh perbedaan yang dibuat ormas tertentu.

Nahdatul ’Ulama (NU) dan Muhammadiyah, adalah dua ormas yang selama ini membentangkan ’jalan sesat’ bagi umat Islam Indonesia. Keduanya memang punya cara masing-masing dalam menentukan hilal. Dan bersikeras pada pandangan (pendapat) masing-masing, tak pernah mau terbuka dan berlapang dada mengambil jalan tengah demi kebersamaan umat. Karenanya, pemerintah melalui Kementerian Agama, harus bisa bertindak jadi penengah. Menjadi mediator yang tidak memihak kepada salah satu di antara keduanya (NU atau Muhammadiyah). Dan, tampaknya mulai Ramadhan tahun ini, peran sebagai mediator itu akan kita rasakan manfaatnya.

Perbedaan yang selama ini terjadi karena adanya ketidaksamaan dalam menerjemahkan makna wujud hilal. Perbedaan itu bukan karena ormasnya (NU dan Muhammadiyah), melainkan lebih pada cara memaknai hadits Nabi Muhammad Saw: ”Berpuasalah kalian karena melihat bulan. Bila terhalang awan, sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.” Cara pandang kedua ormas (NU dan Muhammadiyah) dalam memahami hadits inilah yang menjadi pangkal perbedaan dalam menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

Dari hadits Nabi Saw di atas muncul dua pemahaman. Pertama, rukyat, yaitu melihat hilal pada akhir Sya’ban atau Ramadhan saat maghrib atau istikmal (sempurna), dengan menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari jika rukyat terhalang oleh awan atau mendung. Cara konvensional inilah yang selalu jadi rujukan warga Nahdatul ’Ulama. Kedua, hisab, yaitu menggunakan perhitungan yang didasarkan pada peredaran Bulan, Bumi dan Matahari. Cara modern ini yang jadi pegangan warga Muhammadiyah dalam mengawali puasa Ramadhan.

Sementara pihak pemerintah memberikan batasan 2 derajat bagi ketinggian hilal untuk dapat memenuhi kaidah sempurna bagi permulaan puasa Ramadhan. Batasan 2 derajat itu terkesan dipaksakan oleh pemerintah. Padahal, di Indonesia ada beragam penganut penentuan hilal dengan metode tertentu. Kalangan Muhammadiyah pada dasarnya tidak antirukyat, tapi menginginkan adanya ijtihad untuk menemukan kebenaran serta kriteria yang disepakati bersama para ulama.

Setelah pada hari Selasa (16 Juni 2015) dilihat dari 36 titik pemantauan ternyata tak satupun bisa melihat hilal, maka pemerintah sebagai panutan mengambil sikap dengan berpedomani pada hadits Rasululloh Saw di atas. Yaitu bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari dan pada sidang isbat penentuan awal Ramadhan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memutuskan permulaan puasa ditetapkan pada hari Kamis (18 Juni). Dan, indahnya, ini untuk kedua kalinya warga Muhammadiyah dan NU memulai puasa bersama dan berlebaran pun nantinya bersama-sama pula.

Peran pemerintah sebagai penengah telah dijalankan dengan baik. Kalau ditanya umat, jawabnya tentu saja wa ulil amri minkum (mengikuti pemerintah). Ya, pentingnya menaati penguasa (pemerintah) telah dikatakan Anas bin Malik radiyallahu ’anhu, bahwasanya Rasululloh Saw bersabda: ”Dengar dan taatilah walaupun yang dipilih sebagai penguasa (pemimpin) kalian adalah budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis.” 

Bahkan perintah Nabi Saw di atas tidak gugur walaupun penguasa tersebut dzalim merampas harta rakyat dan menindas selama dia masih muslim. Tepatlah apa yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agama RI, membentangkan jalan kembali ke kaidah tashorru-furraiyyah manuthun bil maslahah. Artinya, keputusan pemerintah harus didasarkan untuk kepentingan umat dan tidak boleh memihak pada organisasi.

Dan, taat pada Pemerintah itulah yang selama ini dijalankan warga NU, sehingga selisih satu hari dengan warga Muhammadiyah dalam memulai puasa dan berlebaran. Tapi, sejak dua tahun ini Pemerintah melalui Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membawa kembali ke jalan yang sama untuk memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri secara bersama-sama. Oh, indahnya kebersamaan.

| Warahan | LAMPUNG EKSPRES | Senin, 22 Juni 2015 |


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan