Langsung ke konten utama

Kumbang Mini Asal Lampung Kembali Ditemukan

K.W. Dammerman pada 1925 lalu menemukan kumbang mini jantan dari Pantai Pedada, Lampung. Dia yang saat itu kurator di Museum Zoologi Bogor, mengoleksi hewan tersebut dan melabelinya dengan nama Trigonopterus sp. 319.
Trigonopetrus adalah jenis kumbang mini bermoncong panjang yang hidup di seresah tanah. Dalam bahasa Inggris, kumbang ini dikenal dengan movingless beetle atau flightless beetle. Dinamai begitu sebab memang ”malas” bergerak dan tidak bisa terbang.
Ciri-ciri Trigonopterus sp. 319 kemudian dideskripsikan. Spesimen itu dinyatakan sebagai Trigonopterus amphoralis Marshall. Nama Marshall merujuk pada orang yang mendeskripsikannya sebagai spesies baru saat itu.
Ada beberapa spesimen T amphoralis yang tersebar di dunia. Dua spesimen jantan ada di Museum Zoologi Bogor (MZB). Sementara, sejumlah spesimen lain ada di British Museum of Natural History di London.
Seharusnya, upaya mempelajari spesies itu kembali mudah sebab spesimen ada di museum. Namun, ketika ahli Trigonopterus dari Natural History Museum di Karlsruhe, Alexander Riedel, hendak mempelajari spesies itu 80 tahun kemudian, situasinya jadi rumit.
Dalam publikasi di Zookeys, 22 Desember 2014 lalu, Riedel yang bekerja sama dengan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cahyo Rahmadi serta Yayuk Suhardjono, tidak berhasil menemukan spesimen hewan itu.
Ketika mencari di British Museum of Natural History, situasinya tak kalah runyam. Ada spesimen yang dilabeli dengan T amphoralis. Namun, ketika diteliti, ciri-cirinya sangat berbeda.
Demikianlah, T amphoralis ”hilang”. Di museum Inggris, kata peneliti, mungkin spesimen sempat terlepas dari kartu yang menerangkan identitasnya. Lalu, ketika petugas museum merapikan, spesimen dilekatkan pada kartu identitas yang berbeda.
Kerumitan berhasil dipecahkan ketika Riedel bersama Cahyo dan Yayuk melakukan serangkaian ekspedisi penelitian Trigonopterus di Jawa, Sumatera, Bali, Palawan, Lombok, Sumbawa, dan Flores.
Tim peneliti berhasil mendapatkan kembali spesimen T amphoralis di sejumlah wilayah Bukit Barisan Selatan, Sumatera. Berdasarkan spesimen itu, tim mendeskripsikan ulang spesies T amphoralis.
T amphoralis diantaranya memiliki antena dan kaki hitam, berukuran rata-rata 3,02 mm, dan tubuh memanjang. Spesies ini tersebar di wilayah Lampung, Sukaraja, Liwa, dan wilayah Bukit Barisan Selatan lain.
Yayuk, Selasa (6/1), mengatakan, T amphoralis berhasil dideskripsikan ulang dalam riset yang menemukan 98 jenis kumbang Trigonopterus baru dari Indonesia.
Penemuan tersebut menggarisbawahi keragaman hayati Indonesia. Bayangkan, hanya dengan meneliti seresah di atas tanah, hampir seratus jenis kumbang dari satu genus berhasil ditemukan.
Setelah penemuan, kata Yayuk, penting untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Penting pula untuk melakukan bioprospeksi, agar penemuan jenis baru bisa mendatangkan manfaat nyata.
Jelajah Hutan Sumatera
Menjelajah hutan Sumatera hingga Sumbawa dan meneliti serasahnya, Alexander Riedel dari Natural History Museum di Karlsruhe serta Cahyo Rahmadi dan Yayuk Suhardjono dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhasil mengungkap 98 jenis kumbang baru.
Semua kumbang yang ditemukan termasuk dalam genus Trigonopterus. Genus ini mencakup kumbang-kumbang mini bermoncong panjang yang tidak memiliki kemampuan terbang, malas bergerak. Kumbang dalam golongan ini acap kali disebut flightless beetle.
Trigonopterus adalah serangga yang hidup di lantai hutan, tempat lembab yang tertutupi oleh sampah organik hutan. Karena itu, upaya koleksi harus dilakukan dengan mengayak serasah dengan tangan.
”Ekspedisi sebenarnya sudah dilakukan lama. Kita mulai tahun 2004 dan beberapa kali sesudahnya. Kita targetkan misal tahun ini hutan Sumatera, ke depannya Jawa, dan seterusnya,” kata Yayuk.
Penjelajahan ke sejumlah wilayah hutan di Sumatera, Jawa, Palawan, Bali, Lombok, dan Sumbawa berhasil mengumpulkan spesimen Trigonopterus dalam jumlah yang fantastis, lebih dari 4.000.
Identifikasi pun dimulai sesudahnya. ”Kami lakukan identifikasi dengan melihat morfologinya. Selain itu, kita juga lakukan analisis molekuler,” ujar Yayuk.
Lewat proses identifikasi, akhirnya diketahui ada 98 jenis baru kumbang mini tak bersayap. Penemuan kumbang ini dipublikasikan di jurnal Zookeys pada 22 Desember 2014 lalu.
Salah satu yang mengagumkan adalah adanya delapan spesies Trigonopterus dari Bali. Contohnya ialah Trigonopterus baliensis. Temuan ini mengejutkan mengingat sebagai wilayah tujuan wisata, Bali relatif sudah mengalami kerusakan.
Spesies lain yang ditemukan antara lain T alaspurwensis, T kintamanensis, T diengensis, dan lainnya. Salah satu spesies baru dinamai T cahyoi karena dikoleksi pertama kali oleh Cahyo Rahmadi.
Spesies lain mungkin mengajak kita untuk belajar berhitung karena dinamai dengan angka, yaitu T satu, T dua, T tiga, dan seterusnya hingga T dua belas. Ada pula spesies dengan nama gunung, yaitu T gedensis dan T halimunensis.
Untuk identifikasi morfologi, peneliti menggunakan beragam karakteristik, misalnya penis. T empat memiliki penis dengan alat transfer kecil, sementara T lima memiliki penis dengan alat transfer lebih kokoh.
Dalam publikasinya, tim peneliti mengungkapkan bahwa hasil penelitian ini akan menjadi basis data sekaligus informasi taksonomi penting dalam dunia ilmu serangga. Hasil riset juga menggarisbawahi perlunya upaya konservasi hutan sebab serasahnya pun menyimpan keragaman hayati tinggi.

LAMPUNG EKSPRES, SELASA, 13 JANUARI 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...