Bahasa Lampung Terasing di Rumahnya Sendiri

Asal mula saya menulis artikel yang berjudul “Halokke di Lamban Tuha” baca lengkap di : http://zabidiyakub.blogspot.com/2013/09/halokke-di-lamban-tuha.html adalah berangkat dari keanehan yang saya rasa. Dinyatakan sebagai “bahasa daerah” tapi “Bahasa Lampung” sangat jarang saya dengar dipergunakan orang dalam berkomunikasi. Persis seperti di artikel “Halokke di Lamban Tuha” tersebut, sejak terbuka mata di pagi hari, sejak mulai melangkahkan kaki menuju tempat bekerja, ke pasar atau ke mana pun.

Di dalam moda tranportasi umum seperti angkutan kota (angkot), bus rapid transit (BRT) dan lainnya bisa dikatakan tak pernah telinga saya menangkap obrolan orang menggunakan Bahasa Lampung. Di perkantoran, pasar, dan perumahan tempat tinggal bahkan di warung, juga sangat jarang menjumpai dialog antarpegawai, orang-orang yang belanja, anak-anak yang bermain, ibu-ibu yang ngerumpi, serta bapak-bapak yang kongkow sembari bertukar cerita tentang peliharaan atau hobi yang sedang mereka gandrungi.

Sungguh mengherankan, mengapa Bahasa Lampung menjadi terasing di rumahnya sendiri. Okelah, mungkin kalau di perkotaan karena faktor heterogenitas komunitas yang berbaur dalam suatu pergaulan, baik di lingkungan perumahan tempat mereka bermukim, di pasar-pasar dalam bertransaksi, di perkantoran dalam rangka pelayanan publik, dan di jalan-jalan umum. Sehingga praktis dibutuhkan alat komunikasi yang bisa dimengerti bersama oleh masing-masing pihak yang terlibat. Maka, beruntungnya sewaktu dikonsep sebuah kesepakatan oleh pemuda-pemudi di tahun 1928 itu, Bahasa Indonesia (Bahasa Melayu) dijadikan pilihan untuk diakui sebagai bahasa persatuan.

Gagasan cerdas menjadikan Bahasa Indonesia dalam teks Soempah Pemoeda itu sebagai bahasa persatuan yang harus dijunjung tinggi, tak lain karena Bahasa Melayu sebagai induk Bahasa Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan itu merupakan alat komunikasi yang bisa dimengerti hampir oleh seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Padahal kalau acuannya dari segi bahasa yang paling banyak dipakai saat itu, tentulah Bahasa Jawa yang memungkinkan untuk dipilih.

Tapi, karena Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang dipakai di tanah jawa, sementara di daerah lain pun berkembang banyak ragam bahasa daerah. Di Pulau Sumatera ada bahasa Batak, Minang, Melayu Aceh, Melayu Riau, Palembang dan Lampung, yang juga dipakai di daerah masing-masing. Itu bila hanya dihitung sebagian bahasa utamanya. Bila mau diikutkan bahasa lainnya, ada bahasa Ranau, Komering, Rejang (Bengkulu), Semendo, Daya, dan lainnya.  

Di Pulau Jawa pun demikian, ada Bahasa Jawa dialek (logat) Serang, Bahasa Betawi, Bahasa Sunda, Bahasa Jawa ada banyak dialek yaitu khas Yogyakarta, khas Solo, khas Banyumas/Purwokerto, khas Jawa Timuran, khas Banyuwangi (bahasa Osing), dan Bahasa Madura. Di Pulau Bali ada Bahasa Bali, Di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur juga punya. Di Pulau Kalimantan ada Bahasa Banjar, demikian pula di Sulawesi, Ambon, Maluku, dan Papua.

Indonesia yang luas dan terdiri beragam suku/etnis dengan ratusan macam bahasa daerah, tentu harus disatukan oleh satu bahasa persatuan sebagai alat komunikasi yang bisa dipahami bersama. Itulah landasan sehingga dalam teks Soempah Pemoeda, Bahasa Indonesia dijadikan sebagai pilihan untuk ditetapkan sebagai bahasa persatuan yang harus dijunjung tinggi.

*********

Tentang Bahasa Lampung yang kesepian di kampungnya sendiri (kangian di pekonni diwik = bhs. Lampung), dikarenakan (1) Bahasa Lampung bukanlah lingua franca (bahasa pengantar) dalam berkomunikasi (dalam pergaulan). (2) Adanya program transmigrasi yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan istilah kolonisasi. Program itu dicanangkan Gubernur Jenderal Van de Venter yang dimulai pada tahun 1905 sampai 1909. bisa dibaca lengkap di: http://disnakertrans.lampungprov.go.id/bagelen-desa-pertama-didiami-oleh-warga-transmigrasi/  Di mana para transmigran tersebut baik yang berasal dari Jawa maupun dari Nusa Penida, Bali (saat Gunung Agung Meletus) membawa bahasa dan budayanya masing-masing untuk dipergunakan di tempat mereka bermukim. Bahkan secara perlahan memengaruhi dan mendesak keberadaan bahasa Lampung. (3) Sifat terbukanya orang Lampung dalam menerima tamu/pendatang dan menjalin komunikasi dengan bahasa yang dimengerti bersama, yaitu bahasa Indonesia.

Dengan makin seringnya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, secara perlahan penggunaan Bahasa Lampung oleh orang Lampung sendiri makin berkurang bahkan cenderung ditinggalkan. Sementara para pendatang yang bisa jadi punya animo untuk mempelajarinya, karena lebih sering diajak berbicara memakai bahasa Indonesia, maka kecil sekali peluangnya untuk bisa belajar dan cepat menguasai serta mempergunakannya.

Yang terjadi kemudian, bukan bahasa Indonesia sebenarnya yang dipakai sebagai bahasa pergaulan di Lampung, melainkan Bahasa Betawi. Sehingga menjadi hal yang aneh dan nyeleneh, karena yang terdengar orang-orang berbicara memakai bahasa Betawi tapi logat Lampungnya masih kentara (begitu kental). Dengan lebih seringnya bahasa Betawi yang dipakai ketimbang bahasa Lampung, khususnya di daerah perkotaan (ibukota kabupaten/kota) seperti Bandarlampung, Metro, Kotabumi, Bukitkemuning, bahkan Liwa, menimbulkan kekhawatiran Bahasa Lampung terancam punah.

Demi mencegah punahnya Bahasa Lampung, 23 Oktober 1999 atas prakarsa LAMPUNG SAI yang Ketuanya HM Harun Muda Indrajaya bekerjasama dengan UNIVERSITAS LAMPUNG, digelar Seminar Bahasa dan Tulisan Lampung, yang menghadirkan pembicara Dr. Asim Gunarwan dari Universitas Indonesia yang menyajikan makalah berjudul "Pembalikan Pergeseran Bahasa Lampung, Mungkinkah?" serta Junaiyah H. Matanggui dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, menyajikan makalah dengan judul "Upaya Penyelamatan Bahasa Lampung di Lampung".

Dalam makalahnya, Junaiyah H. Matanggui menulis: "...Jauh sebelum Gunarwan mengatakan bahwa bahasa Lampung akan punah (Gunarwan, 1999), pada tahun 1969 saya pernah menuliskan kekhawatiran yang sama dalam catatan salah satu makalah fonologi yang ditugaskan oleh dosen saya di Fakultas Keguruan, Universitas Lampung. Pada waktu itu dengan kekhawatiran yang sangat saya mempertanyakan apakah 50 tahun yang akan datang bahasa Lampung masih ada atau tidak di Lampung. Kekhawatiran itu muncul sebab pada waktu itu orang muda Lampung di Tanjungkarang-Teluk Betung dan sekitarnya serta Metro lebih bangga menggunakan bahasa Melayu Jakarta (bahasa Betawi) atau bahasa Indonesia.

Di samping itu, orang-orang desa yang (pernah) bersekolah di kota tampak merasa bangga jika pulang ke desanya ia dapat berbahasa Indonesia walaupun dengan logat Lampung, (bandingkan Walker, 1976:2). Akan tetapi, karena makalah itu hanya dibaca (mungkin juga tidak dibaca) oleh dosen yang bersangkutan atau dibaca oleh lingkungan yang sangat terbatas gagasan itu tenggelam begitu saja. Lagi pula, ketika itu bukankah saya hanya seorang mahasiswa tingkat awal, yang pendapatnya diragukan untuk didengar. Untunglah para pemerhati bahasa dan budaya Lampung serta para tokoh Lampung membaca tulisan Gunarwan sehingga mereka terperanjat dan bangkit dari tidur musim dingin yang amat panjang itu."

*******

Apa yang dihasilkan dari seminar yang diselenggarakan Lampung Sai dan Unila? Tergeraklah niat Pemda untuk membuat peraturan daerah (Perda) tentang pelestarian Bahasa dan Adat Budaya Lampung. Sebagai tindak lanjut, maka digelar Kongres Bahasa Wilayah Barat yang diadakan di Hotel Marcopolo (Senin-Selasa, 12-13 November 2007) diikuti peserta dari pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

Setelah Rancangan Perda itu diajukan Eksekutif ke Legislatif, melalui pembahasan yang panjang akhirnya terwujudlah Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung yang disahkan Gubernur Lampung Drs Sjachroedin ZP SH pada tanggal 29 April 2008. Di samping itu, pada tahun 2010 semasa dipimpin Bupati Mudiyanto Thoyib, Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah juga menggagas adanya Perda tentang Bahasa Lampung (baca: http://regional.kompas.com/read/2010/06/28/1940171/Pemda.Lamteng.Gagas.Perda.Bahasa.Lampung.

Menyikapi perkembangan bahasa yang semakin majemuk dan terkikisnya pemakaian bahasa Lampung, Pemerintah daerah Kabupaten Tulang Bawang mengambil suatu kebijakan melalui surat edaran Nomor: 400/302/02/TB/2010 tentang imbauan kepada seluruh Pegawai di Lingkup pemerintah Kabupaten Tulang Bawang untuk berkomunikasi/berbicara menggunakan Bahasa Lampung pada setiap hari Senin baik di lingkungan pekerja maupun di lingkungan masyarakat/rumah. (baca: http://puskesmasgedungmeneng.blogspot.com/2010/08/pemkab-tulang-bawang-himbau-penggunaan.html.

Fakta tentang terkikisnya pemakaian bahasa Lampung, Kantor Bahasa Provinsi Lampung pada tahun 2008 meliris data bahwa penutur bahasa Jawa di Provinsi Lampung berkisar 61,88 persen, bahasa Lampung 11,92 persen, bahasa Sunda 11,27 persen. Sisanya sekitar 11,35 persen adalah penutur bahasa daerah lainnya, yaitu Minang, Batak, Bugis, Palembang (Semendo, Ogan, Komering, Daya), dan bahasa Rejang (Bengkulu).

Sejarah Lampung yang terserak, baca lengkap di sini: http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/30/sejarah-lampung-yang-terserak-434640.html

Kerajaan Dipasena, baca lengkap di sini: http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/14/kerajaan-dipasena-363799.html





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan