Langsung ke konten utama

Pil Pahit

Kasihan betul nasib rakyat diperdaya kelangkaan minyak goreng. Ada yang sampai meregang nyawa karena kelelahan antre berjam-jam. Terjadi di Berau dan kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Bukankah Pulau Kalimantan dilanda deforestasi karena hutannya dibabat untuk dijadikan lahan sawit, eh emak-emak mati saat hendak antre minyak goreng terjadi di Kalimantan juga. Tragis.

Korban yang di Berau bernama Sandra (41) jatuh saat hendak antre minyak goreng di sebuah waralaba. Akhirnya Sandra meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit, Sabtu (12/3).

Korban yang di kota Samarinda bernama Rita Riyani (49) mengalami sesak napas akibat kelelahan setelah antre minyak goreng. Bagaimana tidak kelelahan, Rita antre di tiga gerai retail.

Demi mendapatkan minyak goreng, pagi Minggu (13/3) Rita bersiap untuk berburu ke beberapa gerai retail moderen. Hasilnya memang dia peroleh 6 liter minyak goreng di tiga gerai retail.

Sepertinya 6 liter belum memuaskan hatinya, mumpung masih ada gerai retail bisa didatangi, maka pergilah dia menuju. Sesampai di supermarket keempat, dia kelelahan dan sesak napas.

Lelah dan ada riwayat penyakit sesak napas menghentikan upayanya. Rita Riyani lalu menelepon suaminya minta menjemput. Beberapa saat setelah suaminya datang dia tidak sadarkan diri.

Dalam tak sadarkan diri dia dilarikan ke rumah sakit. Sempat dirawat intensif selama dua hari, apadaya akhirnya Rita tinggalkan dunia yang penuh tragedi memilukan, pada Rabu (16/3).

Keluarga yang ditinggal lebih pilu lagi. Sosok Sandra dan Rita yang berusia paruh baya, bagi anak-anak dan suami mereka sebuah kehilangan yang tak terperi begitu sedih menanggungnya.

Luck cant be achieved unfortunate cant be denied. Begitulah nasib manusia, apa yang akan terjadi di depan adalah rahasia Allah Swt. Apakah Sandra dan Rita dihampiri firasat buruk sebelumnya?

Tentu tak ada yang bisa menjawab. Kematian adalah misteri yang pasti terjadi. Perkara kapan terjadinya, tak satu pun manusia hidup melata di muka bumi ini bisa (sekadar) menduga-duganya.

***

Sudah antre hingga meregang nyawa, pasti dapat minyak goreng tidak bisa diprediksi. Dari yang saya amati langsung, setiap mobil boks datang tak selalu membawa minyak goreng.

Itulah sebab setiap kali mobil boks pengantar barang ke minimarket datang, selalu akan diserbu emak-emak pemburu minyak goreng. Momen dan kebutuhan yang menskenariokannya begitu.

Satu, momen mumpung HET masih berlaku. Dua, kebutuhan (terutama bagi pedagang gorengan) membuat mereka harus rajin-rajin berburu. Bila perlu ke beberapa minimarket di mana pun.

Seperti halnya yang dilakukan Rita Riyani di kota Samarinda di atas. Sebab bila tidak tersedia cukup minyak goreng tentu usaha jual gorengan akan terganggu kelancaran dan kelangsungannya.

Apes dan celaka 12 memang bila sudah antre berjam-jam namun akhirnya tidak kebagian minyak goreng. Sebuah usaha ayam geprek di perumahan kami, tidak lagi ajeg buka setiap hari.

”Tak ada minyak goreng,” jawabnya. Yang namanya usaha ayam geprek, keberlangsungannya begitu bergantung pada ketersediaan minyak goreng yang cukup. Tak ada minyak goreng, tutup.

Ibarat menelan pil pahit. Tidak ditelan akan dilanda demam tinggi. Ditelan akan terasa pahit sekali. Serba salah dibuatnya. Usaha ayam geprek tutup, tak ada pemasukan. Sama dengan demam.

Terhitung Kamis (17/3) momen HET dicabut pemerintah dan harga jual minyak goreng diserahkan kepada mekanisme pasar, di rak-rak minimarket terpajang banyak sekali minyak goreng.

Akan tetapi, harganya tidak lagi seperti saat berlakunya HET. Harga yang tertera di rak pajangan adalah dua kali lipat dari HET. Waduh, ini pil pahit lagi. Ditelan pahit, nggak ditelan pahit.

Pil pahit bagi usaha gorengan dan ayam geprek bisa ditawarkan dengan menaikkan harga jual. Gorengan harga seribu tak ada lagi. Kalaupun masih ada, sebuah keajaiban yang menakjubkan.

Yang masih harga 1.000 adalah Dimsum pinggir jalan. Di mana-mana gorengan sudah 5.000 empat. Sebentar lagi bulan Ramadan tiba, penjual gorengan panen raya. Meski minyak goreng mahal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...