Sahabat Sejati

foto bareng di lobby Ayaartta Hotel

Namanya Aminoto Unzir. Pria kelahiran Pulau Pisang, Krui, ini saya kenal di Jogja sewaktu kami sama-sama kuliah di AMP YKPN. Kami pun sama-sama ikut Basic Training (bantra) HMI Komisariat AMP YKPN di masjid Taqwa Suronatan, Notoprajan.

Lulus D3 AMP saya melanjutkan S1 ke Malang. Sejak itu kami putus hubungan. Ia sempat cuti kuliah dan menggeluti usaha pengetikan skripsi dan percetakan. Sekira awal 1987 (Januari atau Februari), tiba-tiba ia nongol di kostan saya Jalan Candi Badut.

Katanya, habis dari Kalimantan. Kami berdua lewati malam minggu dengan ngelencer ke kota. Menginap semalam denganku, keesokan harinya sore saya antar ia ke terminal bus untuk kembali ke Jogja. Habis itu putus lagi hubungan di antara kami.

Di moment lebaran Idulfitri 1994 datang telegram indah darinya ke alamat saya Jalan Kelapa Sawit VIII Perumnas Wayhalim. Ucapan selamat lebaran darinya itu lumayan menghibur hati yang rindu. Alamatnya tertera BCA Jalan Sudirman 30 Samarinda.

Wah, jadi ”petugas bank”, pikirku. Lagi-lagi sejak itu tak ada kabar berita di antara kami. Januari 1995 saya mengantar istri untuk menyerahkan SK tugas mengajar di SMPN 2 Pesisir Utara, Lampung Barat (waktu itu). Kami berdua menuju Pekon Pugung Penengahan.

Ternyata di sana tidak ada penomoran 1 atau 2 untuk SMP. Yang ada SMP Negeri Pugung Penengahan dan SMP Negeri Pugung Tampak. Saya langsung mengeluarkan jurus ampuh dalam membangun dialog dengan pihak sekolah, yakni Bahasa Lampung.

Saya memperkenalkan diri bahwa saya orang Ranau. Kebetulan di sekolah itu ada guru bernama Samsi, yang merupakan cucu dari H. Zubair yang juga menikah di Ranau. ”Rumah kami berdekatan dan kebetulan satu guguk Kampung Senangkalan,” kata saya.

Omong punya omong, alhasil istri saya diterima di SMP Negeri Pugung Penengahan itu dengan catatan SK harus diperbaiki. Saya datang langsung ke Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta untuk mengurus perbaikannya.

”Daripada di SMP Pugung Tampak, lebih baik Ibu di SMP Pugung Penengahan,” demikian saran yang diberikan guru-guru di sana sewaktu kami dua istri menghadap kala itu. Kami tidak menyelidiki lebih dalam apa makna tersembunyi di balik kata ’lebih baik’ itu.

foto bareng di pelataran Ayaartta Hotel

Pesona Pulau Pisang

Sewaktu bersahabat dengan Aminoto Unzir di Jogja, saya tak punya gambaran seperti apa Pulau Pisang, tanah tempat ia lahir dan tumbuh sebelum merantau ke Jogja sekolah di SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) dan kuliah di AMP YKPN.

Saat menempuh perjalanan dari Krui ke Pugung Penengahan itulah kali pertama saya melihat Pulau Pisang terapung di Samudra Hindia. Tiap kali lewat di pelabuhan Tebakak dan memandang pesona Pulau Pisang, tiap kali itu pula saya teringat Aminoto.

Tapi, di tahun 1990an itu internet belum semasif sekarang. Saat itu belum ada yang namanya Yahoo atau Google. Jauh tangeh media sosial seperti facebook, twitter, Instageram, WhatsApp. Surat adalah satu-satunya alat penyambung tali silaturahmi.

Tiap kali lewat Tebakak, tiap kali memandang Pulau Pisang, tiap kali pula teringat Aminoto. Betapa mempesonanya pulau tempatnya lahir. Sayangnya untuk dapat menjangkaunya harus diseberangi dengan menumpang perahu bermesin, diayun ombak.

Kini Pulau Pisang telah menjadi destinasi wisata andalan Kabupaten Pesisir Barat (pecahan Lampung Barat). Di sana banyak cagar budaya, salah satunya SD peninggalan zaman Belanda, yaitu SD Negeri Pasar. Ada mercusuar yang juga dibangun Belanda.

Yang ajaib di Pulau Pisang, konon daun Kelirnya tidak berbau langu dan bila disayur bening terasa enak. Petai tidak dimakan ulat. Jika sedang beruntung, bisa menyaksikan gerombolan ikan Lumba-lumba berlompatan menampakkan moncongnya.

Berwisata di Pulau Pisang tidak afdol kalau tidak mencicipi kuliner khas setempat. Apaan tuh? Itu tadi, gulai bulung kilor (sayur daun kelir), gulai retak ridip campor bulung tangkil (sayur kacang hijau campur daun melinjo), dan iwa tuhuk panggang.

Pulau Pisang tempo dulu pernah berjaya sebagai sentra penghasil cengkih. Penduduknya bisa kaya raya oleh hasil panen cengkih yang melimpah dan harga jual yang bersahabat. Kini kejayaan masa silam itu tinggal kenanagn belaka. Cengkih punah.

Pulau Pisang 1 dan Pulau Pisang 2, itu judul puisi yang saya tulis untuk mengenang dan mengabadikan persahabatn kami berdua. Pulau Pisang 2 khusus saya dedikasikan kepadanya. Sebagai bentuk keterpesonaan saya pada pulau tempatnya lahir itu.

Jalan Pencarian

Bukan tak ada upaya saya menemukan keberadaan Aminoto Unzir. Sejak membuka akun facebook pada 2011, berkali-kali saya googling mengetikkan namanya, namun hasilnya nihil. Menggunakan keyword nama anaknya Aditya pun tak berbuah.

Suatu hari saya terkesiap oleh todongan pertanyaan As’ad Bustami. Ia terbaring di bangsal rumah sakit, tapi tak tampak layaknya orang sakit. Masih bersendagurau dalam keceriaan yang tak dibuat-buat. Kepada saya ia meminta nomor telepon Aminoto.

”Waduh, meneketehe,” jawabku. Permintaan As’ad itu seperti menjadi utang yang tak terbayar, ketika akhirnya As’ad berpulang ke Rahmatullah. Dasarnya ia minta nomor telepon itu karena mereka pernah sama-sama di Asrama Lampung, Jogja.

Jalan pencarian akhirnya berbuah juga. Suatu siang, 1 Januari 2021, namanya terbaca di Google ketika ada berita lelayu. Putri Aminoto berpulang ke Rahmatullah, kabar duka disampaikan teman-teman SMA putrinya, diposting di grup fb SMA 2 Jogja.

Jantung saya berdegub kencang. ”Innalillahi wainna ilaihi raji’un,” gumamku lirih. Berarti putri Aminoto ini sekolah di Jogja, batinku. Foto putrinya, Nadila mengenakan baju beremblem UII di bagian lengan kanannya, menghias berita lelayu itu.

Sejak berteman di fb 14 Februari 2021, kami akhirnya diberi kesempatan bertemu. Di lobby Ayaartta Hotel Malioboro Jl. Ahmad Dahlan, Jogja (17 Maret), saat putra bungsu kami wisuda. Ngobrol ngalor ngidul, tak terasa hingga pukul 23, dia pamit.

Google, facebook, dan WhatsApp jadi medium keterhubungan orang yang berjauhan, orang yang merawat rindu untuk bertemu. Semua yang semula buntu, akhirnya bisa terlepas. berkat keberadaan media sosial dan akses internet.

”Utang yang tak Terbayar” puisi yang saya tulis untuk mematrikan kenangan pada As’ad dan nomor telepon Aminoto yang tak bisa saya penuhi. Sungguh sedih mengenangnya. As’ad memberi solusi bagi alamat KTP, waktu saya memperpanjang SIM.

Waktu itu SIM saya jelang limit masa berlaku. Saya ke Jogja untuk memperpanjangnya. Semula hendak numpang alamat kost adik sepupu, namun Bapak kostnya tak berkenan. Minta tolong sama As’ad di Asrama Lampung, Jl. Pakuningratan 7.

Yah, sejatinya sahabat itu, yang satu hati. one heart.

wkwkwkw

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan