Bila Bahasa Mati

Headline Kompas, Selasa, 29 Oktober 2019

Headline Kompas, Selasa (29/10/2019), berjudul ”Cegah Kematian Bahasa” mengabarkan ada 11 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan punah dan 22 lainnya terancam punah. Kepunahan bahasa merupakan lonceng kematian bagi kebudayaan.

Punahnya bahasa bisa berarti matinya sistem kebudayaan yang mendukung satu tatanan nilai dalam sebuah masyarakat. Bahkan bisa berarti pula memudarnya nilai-nilai toleransi yang pernah ditanamkan para leluhur lewat bahasa daerah.

Data menunjukkan 121 bahasa daerah yang tersebar di wilayah Indonesia telah punah, sedangkan 22 bahasa terancam punah, 4 bahasa dalam kondisi kritis, dan 16 bahasa stabil tetapi terancam punah. Selain itu, 2 bahasa daerah mengalami kemunduran dan hanya 19 bahasa terkategori aman.

Pemetaan yang dibuat Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 1991 menyebutkan Indonesia memiliki 718 bahasa daerah, dan dari jumlah itu baru 74 bahasa daerah yang terkaji vitalitasnya. Menurut Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunendar, ada 32 bahasa daerah yang sudah terkonservasi, 27 bahasa terevitalisasi, dan 312 bahasa teregistrasi.

Sementara itu, pada 21 Februari 2009, Organisasi Pendidikan, Ilmu dan Kebudayaan PBB (UNESCO) merilis terdapat 2.500 bahasa di dunia, termasuk 100 bahasa daerah di Indonesia, dalam ancaman kepunahan. Sebanyak 200 bahasa telah punah dalam 30 tahun terakhir dan 607 dalam kategori tidak aman.

Menurut Dadang, terancamnya keberadaan bahasa daerah di Indonesia jangan sampai menimbulkan persepsi bahwa meluasnya penggunaan bahasa Indonesia menghilangkan bahasa daerah. ”Ini harus diputarbalikkan, bahasa daerah tidak boleh hilang karena adanya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak boleh hilang karena adanya bahasa Inggris,” kata Dadang.

Saat memperingati puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2019, Senin (28/10/2019) di Jakarta, Dadang menekankan perlindungan terhadap bahasa daerah berarti menjaga keberagaman Indonesia yang multietnis dan multilingual.

Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, yang juga Guru Besar Universitas Indonesia, Pudentia MPSS mengatakan, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sudah tak perlu lagi dipersoalkan. Namun, kuatnya bahasa Indonesia tidak dimungkiri membuat bahasa daerah kian terpinggirkan. Hal ini, menurut dia, terjadi akibat kebijakan yang tidak berimbang. ”Bahasa daerah dianggap sekadar alat komunikasi. Ketika ada bahasa lain yang lebih mudah, bahasa daerah terlupakan,” katanya.

Warisan nilai

Pudentia mengingatkan, di dalam bahasa daerah terdapat nilai. Oleh sebab itu, jika bahasa daerah punah, berarti sistem kognitif dan nilai-nilai dari satu komunitas penuturnya akan punah. ”Sebab, bahasa bukan sekadar fonem atau kosakata,” ujarnya.
  
Hal senada diungkapkan Kepala Bidang Perlindungan, Pusat Pengembangan dan Perlindungan, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Ganjar Harimansyah bahwa bahasa bukan sekadar kumpulan kata atau seperangkat kaidah tata bahasa. Bahasa berisikan berbagai khazanah dan refleksi pemikiran serta pengetahuan. Kehilangan bahasa, katanya, bisa berarti kehilangan daya kreativitas dan keberagaman intelektualitas sebagai realisasi rasa kemanusiaan. ”Kepunahan bahasa berarti kematian kekayaan batin kelompok etnis pengguna bahasa,” kata Ganjar.

Peneliti Ahli Utama Bidang Budaya Pusat Pemetaan Masyarakat dan Budaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Alie Humaidi, yang lebih dari lima tahun meneliti bahasa di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, faktor lain yang mendorong kepunahan bahasa daerah adalah tekanan sosial. Anak-anak muda di Alor malu menggunakan bahasa daerah karena dicap sebagai orang kampung. Orang-orang dari Habolat, Alor Barat Daya, kata Alie, sangat malu menggunakan bahasa daerahnya.

”Karena malu, lalu mereka tak mau lagi menggunakan bahasa daerah,” ujarnya.

Salah satu bahasa yang terancam punah adalah bahasa Kafoa yang digunakan warga Dusun B, Desa Probur Utara, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor. Penutur bahasa ini, berdasarkan data, kurang dari 1.200 orang. Selama menemui warga Alor, 15-16 Oktober 2019, di desa-desa, pasar, jalan, dan sekolah-sekolah, Kompas menemukan fakta tak seorang pun menggunakan bahasa daerah. Umumnya mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan sangat fasih.

Saat berkunjung ke kelas XI IPA 3 SMAN 1 Kupang, Kamis (17/10), dari 36 siswa, hanya 2 anak yang bisa menggunakan bahasa daerah. Keduanya adalah siswa bernama Febriani Medah dan Dominicus Ricard Atasage Adonara. Hal yang menarik, Febri yang berayah asal Rote dan ibu dari Ambon justru fasih berbahasa Jawa karena ia lahir dan besar di Surabaya.

Kepunahan bahasa daerah sangat mencemaskan Imanuel Kalamay, warga Dusun B, Desa Probur Utara. Pensiunan guru SD ini sangat khawatir anak cucunya kelak tidak memiliki jati diri lagi sebagai orang Kafoa. ”Boleh mengaku orang Kafoa, kalau tidak tahu bahasanya, apa yang kita tahu tentang suku itu. apa yang akan kita ceritakan kepada orang lain,” ucapnya.

Menurut Alie Humaidi, implikasi terbesar dari punahnya bahasa di Alor adalah hilangnya identitas kesukuan. ”Dari bahasa, orang tahu adat, budaya, dan jati dirinya,” katanya.

Dalam suku Kafoa, tambahnya, ada ungkapan yang sangat mendasar mengenai toleransi. Ungkapan itu berbunyi: ”Jika dua gunung runtuh, dua gereja akan jadi pelindung masjid. Jika air laut naik, masjid jadi benteng gereja.” Ungkapan ini, menurut Alie, penting diketahui oleh generasi penerus suku Kafoa.
”Ungkapan itu pesan moral yang kuat dari para leluhur suku Kafoa untuk terus menjaga harmoni,” katanya.

Kenyataan inilah yang membuat Imanuel, Alie, bersama beberapa peneliti dari LIPI sejak tahun 2013 mencoba menyelamatkan bahasa Kafoa. Mereka mencatat kiosakata lalu mengajarkan bahasa ini kepada siswa sekolah. Mereka kemudian meminta agar pemerintah daerah menerbitkan peratiran untuk pengajaran bahasa Kafoa.

”Tahun 2014 bahasa Kafoa resmi diajarkan di sekolah,” kata Imanuel.

Gerakan serupa dilakukan Ketua Program Studi Ilmu Pendidikan dan Keguruan Bahasa Inggris Universitas Tri Buana, Kalabahi, Kabupaten Alor, Novie Moybeka. Dosen muda ini sejak tiga tahun terakhir mengadakan lomba menulis cerita dalam bahasa daerah dengan peserta siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum. ”Dengan cara itu, mereka harus belajar bahasa daerah,” ujarnya. (TRI/HEI/ELN)

Kompas, Selasa, 29 Oktober 2019

*


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan