KOPI

KOPI, sepenggal kata yang merepresentasikan banyak makna. Tak hanya nama ’sebingkai’ tanaman yang awal mulanya dibudidayakan di Abyssinia, Afrika. Bukan sebatas biji yang dibawa Baba Budan dari Arab ke India dan dibudidayakan di Chikmagalaur hingga Malabar, kemudian bibitnya dibawa Belanda ke Tanah Jawa dan ditanam di Kedawung (sekitar Cengkareng, Banten). Bukan semata suatu komoditas yang harga jualnya berfluktuasi mengikuti masa panen dan langkanya produk. Saat langka harganya melangit membuat petani sakit hati dan memendam benci. Saat masa panen harganya anjlok membuat petani lesu darah dan tak bergairah merawat kualitas hasil panen.

Sehirup Sekopi, Puisi dan Catatan Zabidi Yakub

KOPI, sepenggal kata yang merangkum anasir dan melahirkan banyak tafsir, tergantung nama ’benua’ di mana dia dihasilkan. Dari Sabang sampai Merauke, banyak nama diselipkan untuk menegaskan cirikhasnya. Dari ujung utara hingga ujung selatan Pulau Sumatera, tersebutlah; Kopi Gayo, Kopi Lintong, Kopi Sidikalang, Kopi Tanah Karo, Kopi Mandailing, Kopi Minang Solok, Kopi Kerinci, Kopi Curup-Kepahiang, Kopi Basemah, Kopi Pagaralam, Kopi Empat Lawang, Kopi Lampung.

Sementara, di hamparan Pulau Jawa, ada nama-nama Kopi Gunung Halu, Kopi Parahiyangan, Kopi Malabar, Kopi Ciwidey di ujung barat. Bergeser ke tengah Pulau Jawa ada Kopi Sindoro-Sumbing, Kopi Bowongso dari Temanggung dan Wonosobo. Di belahan ujung timur Pulau Jawa ada Kopi Dampit (Malang), Kopi Jampit dan Blawan Bondowoso, Kopi Ijen-Raung-Argopuro (Banyuwangi), Kopi Montano (Sumenep).

Di luar varian dan nama-nama kopi di atas, makin ke timur Indonesia kita masih akan diperjumpakan dengan suguhan kopi-kopi yang tak kalah menarik dus menggoda citarasanya. Karenanya, layaklah dicoba yang berikut ini; Kopi Kintamani-Pupuan (Bali), Kopi Lombok Sembalun, Kopi Lombok Prabe, Kopi Tambora (NTB), Kopi Flores Bajawa, Kopi Flores Manggarai (NTT), Kopi Wamena (Papua), Kopi Toraja, Kopi Kalosi (Sulsel), Kopi Pinogu (Gorontalo).

Di Aceh, tradisi ngopi di kedai kopi begitu menggeliat. Di pinggir-pinggir jalan dan di depan rumah penduduk sangat lumrah kita temui meja-kursi berjejer dan dipenuhi orang-orang yang sedang ngopi. Di Jogja, dikenal istilah Kopi Joss, yaitu kopi tubruk dihidangkan dalam cangkir/gelas lalu dimasukkan pecahan arang yang masih menyala ke dalamnya. Kombinasi dari kopi tubruk dan arang yang masih menyala ini memberi sensasi rasa yang unik. Kedai Kopi Joss di dekat Stasiun Tugu itu setiap malam ramai pengunjung dari kalangan anak kost maupun wisatawan dari penjuru daerah.
 
Ngupi Pai, Sesobek Kecil ulun Lampung, Zulkarnain Zubairi

Kalau khusus mengadon cerita perihal Kopi Lampung, apa istimewanya? Agak susah menjawabnya. Tapi, yang jelas kebanyakan atau hampir 100 persen kopi yang dihasilkan provinsi di selatan Pulau Sumatera ini adalah Robusta. Tanah yang subur dengan kontur berbukit merupakan anugerah terindah dari Tuhan sehingga biji-bijian apa pun yang ditanam akan tumbuh ranum dan menghasilkan buah lebat, tak terkecuali kopi tentunya. Hal itu yang menjadikan panen kopi petani di masa-masa lalu mendatangkan kemakmuran. Entah di masa kini, mengingat harga yang mudah sekali diombang-ambingkan tauke.

Kebiasaan minum kopi bagi masyarakat Lampung sudah semacam tradisi, terutama di pagi hari sebelum berangkat ke ladang bagi yang di perdesaan, dan ke kantor bagi orang kantoran. Tentang cerita ada kopi termahal dari Lampung? Ya, memang benar, apa lagi kalau bukan Kopi Luwak. Yaitu kopi yang dimamah Luwak dan terjadi proses fermentasi di lambungnya. Kopi dari kotoran (feses) binatang Luwak itulah yang kemudian diolah menjadi bubuk kopi bercitarasa aduhai dan harga yang membuat siapa pun yang mendengarnya tercengang seakan tak percaya. Tapi, setelah mencoba meminumnya barulah menyadari.

Untuk melambungkan Kopi Lampung ’mendunia’ Pemerintah Provinsi Lampung menaja Lampung Coffee Festival (Lacofest) sejak tahun 2016. Di event ini berbagai acara digelar, seperti: lomba citarasa kopi, perang barista, pameran kafe, kongkow komunitas, meet the experts, romantic night, dll. Bahkan Kabupaten Lampung Barat, yang merupakan sentra tanaman kopi terluas di Lampung, pun ikut menggelar Festival Kopi Lampung Barat sejak tahun 2018. Festival kopi ini mengambil motto Bicara Kopi, Ingat Lampung Barat dan Lampung Barat Surganya Pecinta Kopi. Kemudian untuk tahun 2019, festival digelar pada 9-10 Juli di Pekon Rigisjaya, Kecamatan Air Hitam, dengan tema Indonesia Negriku, Lampung Barat Kopiku.


Ngupi Pai

Ngupi pai, kalimat ini bukanlah ujaran kebencian. Melainkan ajakan untuk minum kopi. Dua ruas kata dalam sepenggal kalimat Bahasa Lampung itu lumrah diucapkan dan didengar oleh masyarakat Lampung. Kalau ada ’segerombol’ orang sedang kumpul sambil ngopi di lepau lamban (beranda rumah). Selang waktu kemudian ada orang yang lewat, maka orang yang lewat itu pasti akan diajak mampir. ”Ija singgah pai, ngupi pai dija (mari mampir dulu, minum kopi dulu di sini),” begitu yang akan diucapkan orang-orang yang marok perwala (kongkow) di lepau itu.

Pengucapan singgah pai sama ngupi pai kadang dirangkaikan bergandengan. Namun, ada juga yang diucapkan salah satunya saja, singgah pai atau ngupi pai. Maknanya sama saja, yaitu keseriusan dalam bertegur sapa yang mentradisi dalam masyarakat Lampung. Ajakan ngupi pai tak hanya ditujukan kepada orang yang lewat di depan rumah. Bisa juga ditujukan kepada teman kerja di kantor yang terlihat serius dan suntuk bekerja untuk beristirahat sejenak. Tak jarang ada embel-embel kata ’ui’ di belakang ngupi pai. ”Ngupi pai, ui.” Itu menegasikan betapa kentalnya sikap sosial di masyarakat Lampung. Persis seperti kentalnya Kopi Lampung.

Seingat saya, yang biasa dilakukan Bapak saya dulu adalah ngupi sambil menyantap ketan dengan sambal goreng dan ikan Mujair dari Danau Ranau yang dipanggang. Khusus di hari Jumat sarapan kami sebelum berangkat sekolah yaitu ketan plus sambal dan ikan Mujair panggang itu. Di masa kini ngupi kerap dipersandingkan dengan ubi rebus atau pisang goreng. Nah, rasanya tak elok kalau ngupi tanpa ada penyedap suasana. Maka, cobalah ngupi sambil baca buku Ngupi Pai, Sesobek Kecil ulun Lampung karya Zulkarnain Zubairi. Atau kalau belum kau miliki bukunya, tak apa-apa. Aku sejak lama meladangkan kopi sambil menanam puisi ini untuk kelak tiba waktunya kita panen dan bijinya kita roaster dengan tepat dan seduhan kopi kita cecap bersama. Mari kita SEHIRUP SEKOPI.


Kopi dan Festival

Bicara kopi, ingat Lampung Barat
Belalau, Way Tenong dan Sekincau
Kumpulan Tanah subur pemberian Tuhan
Tempat ’Kopi Liwa’ dibudidayakan

Lampung Coffee Festival, ditahbiskan
Memanggungkan kopi, itu inti acaranya 
Tidak sekadar ngobrol sembari ngopi
Ada nilai plus yang ingin dikedepankan

Lacofest, demikian lidah fasih mengucapkan
Sama fasihnya dengan mencecap aroma rasa
Tapi, sejatinya tak hanya spesies Robusta
Banyak nama dan variasi turut dipentaskan

Bicara kopi, ingat Lampung Barat
Hanakau jadi sentra dan percontohan
Spesies Robusta mengibarkan nama
’Kopi Liwa’ merantau ke mana-mana

Ketangkasan mencecap kopi dipertandingkan
Ya, namanya juga festival. Apalagi kalau bukan
kejeniusan menghidu dan menilai sedapnya kopi
Selebihnya, bercengkerama dan berswafoto

Menaja sebuah festival, atau apa pun namanya
Lebih-lebih Lacofest, adalah upaya menegasikan
Bahwa Kopi Lampung telah dikenal dan dikenang
Kekuatan aroma rasa menciptakan keunggulan

Bicara kopi, ingat Lampung Barat
Spesies Robusta mengental di telinga
’Kopi Liwa’ merantau ke mana-mana
Lacofest, mengekalkan kenal jadi kenang

Membuat para perantau selalu rindu pulang
Dan para pendatang ingin kembali bertandang
Sebab, bila aroma ’Kopi Liwa’ telah bersemayam
Kepala siapa tak menyimpan sejumput rindu    

Kepala siapa tak seketika mengangguk-angguk
Manakala lagu ’Kopi Lampung’ meruahi ruang
Kepala siapa tak menghadirkan pikir dan angan
Alamak alangkah nikmat kopi, meski hanya lagu

n Bandarlampung, Senin, 14 Agustus 2017



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan