Panggung Sastra Lampung 2019

seusai acara, para peserta Panggung Sastra Lampung 2019 berfoto bersama.

Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung menginisiasi penghimpunan puisi dan cerpen karya penyair dan cerpenis (sastrawan) Lampung baik yang berdomisili di Provinsi Lampung atau di mana pun. Tidak terbatas pada sastrawan (ulun) Lampung, tapi juga sastrawan di luar (ulun) Lampung yang pernah bermukim di Lampung dalam arti memunyai ikatan historis dengan Bumi Lampung. Inisiator hajat ini adalah Udo Z Karzi sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung, sekaligus bertindak sebagai editor bersama Christian Heru Cahyo Saputro dan Fitri Yani.

Puisi yang terhimpun kemudian dibukukan dengan judul Negeri Para Penyair: Antologi Puisi Mutakhir Lampung. Sedangkan untuk buku kumpulan cerpen diberi judul Negeri yang Terapung: Antologi Cerpen Mutakhir Lampung. Setiap penyair dibolehkan mengirimkan lima judul puisi dan cerpenis boleh mengirim dua judul cerpen. Karya puisi dan cerpen tersebut sebelum dinyatakan lolos untuk dibukukan, terlebih dahulu dikurasi oleh Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin dan Ari Pahala Hutabarat. Ketiga kurator ini bekerja keras berbulan-bulan untuk memilih dan memilah, menimbang kemudian memutuskan mana-mana judul puisi dan cerpen yang layak dibukukan dari segi estetika (estetis) maupun etika (etis). 

Dari sekian banyak penyair yang mengirimkan karyanya, hanya 47 penyair yang karyanya lolos kurasi dengan jumlah puisi 142 judul. Puisi yang lolos kemudian dihimpun dalam buku Negeri Para Penyair. Sedangkan yang terhimpun dalam buku Negeri yang Terapung ada 17 cerpenis dengan jumlah cerpen 17 judul. Kedua buku antologi puisi dan cerpen ini diterbitkan oleh Dewan Kesenian Lampung dan telah diliris sejak bulan September 2018 tapi baru resmi di-launching pada acara Panggung Sastra Lampung 2019, Sabtu, 15 Juni 2019 bertempat di Gedung Kesenian Lampung. Bersamaan dengan acara halal bilhalal. 

Tidak semua penyair dan cerpenis yang karyanya dibukukan hadir di acara ini, namun banyak peminat sastra dari kalangan pelajar dan pegiat literasi di daerah kabupaten/kota menjadi peserta dan ambil bagian dalam diskusi dengan melontarkan pertanyaan kepada narasumber. Launching atau peluncuran ditandai penyerahan secara simbolis dua eksemplar buku tersebut oleh Udo Z Karzi kepada Bapak Hery Suliyanto selaku Ketua Harian (Plt. Ketum) Dewan Kesenia Lampung menggantikan Ibu Aprilani Yustin Ficardo yang mengundurkan diri pada 17 Mei 2019, karena jabatan suaminya M. Ridho Ficardo (Gubernur Lampung) berakhir pada 2 Juni 2019.

Ketua Harian (Plt. Ketum) Dewan Kesenia Lampung, Hery Suliyanto, menyampaikan sambutannya. 
Dalam sambutannya, Hery Suliyanto berharap, Panggung Sastra Lampung ini bisa menjadi oase di tengah panasnya suhu perpolitikan. ”Sastra itu kan melembutkan hati manusia. Ia bisa memberikan kesejukan untuk membangun kemanusiaan kita,” ujarnya seraya meminta, ke depannya, DKL lebih sering menggelar acara serupa agar kehidupan sastra di Lampung lebih maju lagi. Seusai menyampaikan sambutannya, Bapak Hery Suliyanto membuka secara resmi acara Panggung Sastra Lampung 2019 kemudian menerima penyerahan buku antologi puisi dan cerpen. 

Acara yang molor lumayan lama itu kemudian menampilkan satu per satu penyair dan cerpenis untuk naik panggung membacakan karya puisinya. Ada penyair yang membacakan sajaknya yang termuat di buku, ada yang membaca dengan memanfaatkan media berupa gawai dan ada juga penyair yang membacakan karya terbarunya (puisi yang tidak ada di buku antologi yang diluncurkan). Pembacaan puisi oleh para penyair diselingi juga oleh penampilan Virdyas Eka Diputri atau Holaspica, seorang singer-song writer asli Lampung yang juga bermukim di Yogyakarta. 

Penyanyi indi folk Lampung ini sudah menelurkan solo album dan beberapa singel di antaranya Naik ke Laut, Dying Sky, Waktunya Pulang, dll. Hola sapaannya juga merasa tertantang untuk menggubah lagu yang disarikan dari puisi yang ada di buku Negeri Para Penyair. Yaitu puisi Karya Alexander Robert Nainggolan, Elly Dharmawanti dan Husnul Khuluqi. Lagu yang digubahnya dari puisi ketiga penyair tersebut diberinya judul ’Seorang Kawan yang Tersesat di Penyeberangan Dinihari.’ Lagu berdurasi lima menit ini pun dilantunkannya dengan ciamik diirngi petikan gitar akustiknya.


Hola in action, suaranya jernih, petikan gitarnya dahsyat, dia mengajak nyanyikan bareng-bareng lagu Naik ke Laut. 

Usai pembacaan puisi dan cerpen, acara dilanjutkan diskusi yang diisi oleh Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin,  dan Ari Pahala Hutabarat sebagai narasumber dengan moderator Hermansyah GA. Panggung Sastra Lampung 2019 ditaja oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung didukung oleh Komunitas Berkat Yakin (KOBER) dengan person-personnya Ari Pahala Hutabarat, Alexander GB, Agit Yogi Subandi, dll., Teater Satu (Iswadi Pratama) dan Generasi Pesona Indonesia (Genpi) Lampung. 

Sepertinya lumayan lama DKL tidak menggelar panggung sastra ini. Terakhir, konon, tahun 2013. Pada panggung hari ini (Sabtu, 15 Juni 2019), menjadi ajang pertemuan sastrawan Lampung lintas generasi mulai dari generasi pertama angkatan tahun 1980an hingga generasi termuda angkatan tahun 2000an. Juga menjadi arena unjuk kebolehan penyair M. Sidik Musthafa yang sempat menghilang atau vakum dalam berkarya terhitung tahunan, seperti yang diungkapkannya. Terima kasih untuk Komite Sastra DKL, KOBER, Teater Satu dan Genpi Lampung.


Saya yang dipanggil naik panggung seusai istirahat salat zuhur dan rehat makan siang, membacakan puisi di bawah ini:  


Dilahirkan Kata

Semua manusia dilahirkan kata
Erangan Ibu saat gua garbanya merekah
Dan kecambah yang dulu membelah air mani ayah
Menjelma bekuan kata, pecah setelah dipasung waktu

Semua manusia dilahirkan kata
Napas Ibu terayun kontraksi antara jeri dan batas lega
Dan bukaan langit yang kian melonggar diamuk geliat
Menjelma tangis, tingkap kata bagi ruang dan peluang

Semua manusia dilahirkan kata
Suara tenor ayah mengumandangkan azan di telinga
Dan nyanyi paling kudus yang digubah Bilal bin Rabah
Menjelma jalinan kata paling sakral di jagad raya 

Semua manusia dilahirkan kata
Ayah menggelar hajatan aqiqah dalam kenduri kecil 
Dan disematkan nama yang sejak lama diangankannya
Menjelma doa dari silat lidah kata yang dirapalkan

Semua manusia dilahirkan kata
Senandung lirih Ibu saat menghantar hangat dalam dekap
Dan air ketuban yang dulu mengasuh dalam rahimnya
Menjelma sulur kata termerdu setelah diringkus kelu

Semua manusia dilahirkan kata
Celoteh pertama saat mulut mungil kita mulai berbicara
Dan percakapan orang dewasa yang kemudian kita dengar
Menjelma kata-kata absurd, mencemari otak kanak-kanak kita

Semua manusia dilahirkan kata
Perbincangan, adu argumen dan debat kusir di televisi
Dan kita terkilir emosi, mengadon amarah di dalam hati
Menjelma benturan kata yang memantulkan bara kesumat

Semua manusia dilahirkan kata
Status di media sosial setiap saat berkelebat membius mata
Dan komentar atau sekadar tanda suka dari jempol kita
Menjelma jelaga kata yang menunas benci dan caci maki

Semua manusia dilahirkan kata
Hoaks jadi santapan lezat, orang-orang saling tukar menukar
Dan diperdagangkan dengan murah serupa kacang rebus
Menjelma intoleransi, kata yang lahir dari perselingkuhan 

Semua manusia dilahirkan kata
Sejak lahir hingga dewasa kita diasuh belaian kata-kata
Dan ’buah dada’ Ibu hingga ’buah bibir’ di dunia maya
Menjelma candu kata yang membuat kita jadi ketagihan

Semua manusia dilahirkan kata
Omongan yang ambigu dan penuh sihir di atas mimbar 
Dan sesiapa menyimak menelannya tanpa mencerna
Menjelma pikiran hanya berhenti di kata bukan makna

Semua manusia dilahirkan kata
Zaman berubah, melahirkan generasi berpikiran kerdil 
Dan ketidakdewasaan menyerap maksud orang berbicara
Menjelma peluru kata, gegabah menembakkan hujatan

Semua manusia dilahirkan kata
”Perubahan yang paling kekal adalah perubahan itu sendiri”
Dan siapa kuasa melawan teknologi, maju sebuah keniscayaan
Menjelma sabda kata, ”selaraskan diri atau mati digilas zaman”

Semua manusia dilahirkan kata
Berseteru sengit memperkarakan soal remeh temeh
Dan hasil yang diperoleh adalah pahitnya ketidakadilan 
Menjelma keputusan kata mengirim orang ke penjara

Semua manusia dilahirkan kata
Wajah-wajah saling curiga, memasang mata awas waspada
Dan betapa mudahnya sakwasangka pecah di muka publik
Menjelma paradoks, kata jadi kehilangan ruh kedamaian

Semua manusia dilahirkan kata
”Peraturan dibuat untuk dilanggar,” aha..., adagium purba
Dan sebagian orang penuh taqwa, patuh menjalankannya
Menjelma kemasygulan, sebagian orang memendam kata

Semua manusia dilahirkan kata
Di jalan umum, di ruang terbuka, toleransi tak lagi dikenal
Dan sumpah serapah adalah tautan arbiter kehidupan sosial
Menjelma sikap individualistis, apatisme menyandera kata

Semua manusia dilahirkan kata
Ada yang meneriakkan keadilan sambil berbuat tidak adil
Dan menyembunyikan wajah di balik topeng kemunafikan
Menjelma sampah kata, ’bisa ujar tapi gak bisa ngelakoni

Semua manusia dilahirkan kata
Banyak orang terdampar di teras sikap konsumtif berlebihan
Dan tabiat kelas menengah kita, pemeluk teguh gaya hidup
Menjelma kata berkepribadian ganda, hedonis nirkreativitas

Semua manusia dilahirkan kata
Sebagian kelas menengah itu cinta mati brand luar negeri
Dan itulah topeng modernitas mempercantik penampilan
Menjelma kata yang banyak tingkah, jemawa membabi buta

Semua manusia dilahirkan kata
Tapi, sesungguhnya ada simbiosis mutualisme bisa dirakit
Dan ini wilayah kelas menengah yang konsumtif dan kreatif
Menjelma kesepakatan kata, saling dukung menguntungkan

Semua manusia dilahirkan kata
Serpihan-serpihan sakit hati dan benci menjadi serumpun
Dan beberapa pihak bersekutu menjalin kesepakatan jahat
Menjelma ancaman kata siap membunuh siapa saja

Semua manusia dilahirkan kata
Pendar damar tak mampu menerangi mata batin kewarasan
Dan jika sumbu lentera terlampau pendek memeram panas
Menjelma jelantah kata yang melumasi letupan konflik 

Semua manusia dilahirkan kata
Kebebasan berpendapat dikebiri, demokrasi menuju kematian
Dan setiap bunyi ping di gawai langsung loncat ke otak
Menjelma angin ribut kata menerjang meluluhlantahkan

Semua manusia dilahirkan kata
Hidup di zaman now, jangan sembrono menyepah ucapan
Dan bila setiap jengkal suara didakwa ujaran kebencian
Menjelma trauma massa, betapa mengerikannya kata

n Bandarlampung, Kamis, 19 Oktober 2017


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan