Menulis Asyik, Udo Z. Karzi
Ada kelegaan
di hati, ketika akhirnya buku ’Menulis Asyik’-nya Udo Z. Karzi terbitan Sai
Wawai Publishing Kota Metro, jadi juga kumiliki. Saat buku ini dilaunching
beberapa bulan lalu, saya berhasrat memesan namun karena buku ini dibuat sebagai
partisipasi Udo Z. Kazi menyukseskan program 1.000 buku yang digagas Sai Wawai,
konon buku ini murni sebagai amal dan tak dijual untuk umum. Begitu yang
tersirat dalam percakapan via inbox fesbuk antara kami berdua.
Empat buku sentuhan tangan Udo Z. Karzi; Mak Dawah Mak Dibingi, Tumi Mit Kota, Menulis Asyik dan Rumah Berwarna Kunyit. (foto by Zabidi Yakub) |
Ketika
ditawarkan kembali oleh Udo Z. Karzi bersamaan dengan buku Rumah Berwarna
Kunyit langsung kusambar. Kayak ikan aja nyamber…. emangnya umpan pancing…
Lagi, percakapan via inbox saya lontarkan berharap disambar juga dengan baik.
Ternyata benar, gayung bersambut. Udo Z. Karzi tulis berapa nilai tukar kedua
buku itu berikut noreknya di Bank Mandiri, padahal saya sudah tahu noreknya karena
dulu pernah transfer.
Karena nilai
tukar dua buku yang harus saya bayar tanpa embel-embel ongkir, lalu saya tanya
ongkirnya? Kata dia nggak pake ongkir, nanti buku diantarkannya ke kantor
tempat saya nguli. ”Nanti saya tambah ongkir, buku kirim ke rumah,” jawabku.
Kenapa saya menghendaki buku dikirim ke rumah? Karena saya tak ingin hilang tak
karuan. Tercecer tak sampai ke tangan saya.
Ini bukan
tak percaya dengan orang-orang di tempat saya nguli itu. Tapi, lebih kepada
tindakan waspada biar tidak jadi sesalan dan tak ada tuduhan atau sakwasangka,
baik terhadap orang-orang yang saya maksud maupun kepada Udo Z. Karzi. Ini juga
bukan berarti suudzon yang berlebihan melainkan menginginkan yang terbaik dan
menghindari kemungkinan buruk.
Pasalnya, HM
Harun Muda Indrajaya (HMI) Pemimpin Umum/Perusahaan tempat saya nguli, tidak
menghadiri undangan penganugerahan penghargaan yang diberikan Pemprov Lampung
kepada 14 Tokoh Lampung pada peringatan HUT ke-70 RI di lapangan Korpri
Bandarlampung, Senin (17/8). Penyebabnya, undangan yang dikirim panitia tidak
nyampe ke tangan HMI. Belakangan baru ketahuan ternyata tertahan di laci staf
adm perusahaan.
Dengan
sekilas cerita perihal ketelisutan surat undangan untuk HMI di atas, tentu
terang apa persoalan yang perlu diwaspadai. Kemudian terbetik pilihan bijak, daripada serah-serahan
uang dan barang via norek dan jasa hantaran. Saya pikir kenapa tidak dengan
cara cash and carry, padahal saya dan Udo Z. Karzi sama-sama tinggal di
wilayah demografis Kemiling. Lalu, inbox dilanjutkan dengan tawaran dari saya
untuk ketemuan aja di daerah Kemiling. ”Oke,” kata Udo. Kembali dia kasih
nomobnya (nomor mobile), padahal sudah saya tanam di pekarangan phonebook hp.
Benar juga,
setelah janjian pukul berapa mau ketemuan. Kamis (20/8) kami berdua ketemuan di
’Kafe Catur Tunggal’ pukul 10 lebih-lebih dikitlah, biasa ngaret. Ketika saya
sampai di TKP (Tempat Kafe Persisnya), ternyata Udo Z. Karzi sudah menikmati
kopi hangat sajian peramunikmat di kafe itu. Dan, benar kan, ketemuan langsung rupanya lebih asyik,
sembari ngopi-ngeteh bisa ngobrol tentang banyak hal. Memang, sejak tidak
pernah ada even diskusi di Lampost, yang biasanya saya selalu diundangnya,
jadinya kami berdua alah lamo indak basuo. Kak ngegham moneh jamow nikew.
Pinginnya
Lamaaaaa
Kepingin sih
ngobrol lamaaaaa bersama Udo, tapi saya-nya kebelet pipis. Jadinya saya
buru-buru pamit. Saya ini tipenya orang apa ya, pernah sih ada yang bilang tapi
saya lupa. Pokoknya kalau baca buku saya selalu urut dari depan ke belakang
(kecuali kalau baca Quran). Setelah saya baca-baca, pada tulisan berjudul
’Jejak Literasi Liwa’, di halaman 20 tertulis Surabaya Banding (Agung) Ranau. Wow…
saya serasa ’ejakulasi.’ Kenapa?
Ya, di
Surabaya (Pekon Sakhbaya) itulah saya dilahirkan. Karena tercantum/terbaca
Surabaya, lantas anggapan ’orang-orang’ (kebanyakan mereka) menafsirkan saya
berasal dari Suroboyo, Jawa Timur. Ada manfaatnya, karena dulu waktu SMA di
Jogja, kalau nyari kamar kost bila ngaku dari Sumatera agak susah diterima.
Kenapa?
Karena
’Kampung Begal’ kali….. hahaha….. Bukan, bukan itu. Tahun ’77-79-an sering
terjadi konflik antaretnis di kalangan pelajar/mahasiswa di sana. Perang
antarpenghuni asrama daerah X dengan Y. Tahun ’80 ketika pecah kerusuhan rasial
(anti-cina) di Solo, asrama-asrama pelajar/mahasiswa tiap daerah di-sweeping.
Dari peristiwa-peristiwa itulah kira-kira yang membuat sebagian induk semang
(pemilik rumah kost) lebih teliti bila menerima anak kost yang akan mondok di
rumahnya.
Setting Liwa
(Lambar) atau Krui (Pesisir Barat kini) dengan panorama alam berbukit dan samudra
lepas serta Gunung Pesagi berikut situs-situs budayanya, atau Ranau dengan danau
dan Gunung Seminungnya, tentu akan menambah berisi dan berjiwanya karya tulis,
apapun bentuknya. Entah puisi, cerpen, atau catatan perjalanan seperti yang dibuat
J. Pattullo, pada halaman 20 buku ’Menulis Asyik’ di atas.
Sulit
Menemukan Jejak
Ada beberapa
puisi yang saya buat –juga mencoba– mengambil setting daerah-daerah tersebut.
Seperti puisi berjudul ’Karena… (Hanya Ini yang Ibu Mampu)’ menggambarkan
tentang bahasa ibu yang akan hilang, ’Tak Usah Kau Risaukan’ tentang dermaga
Kuala di Krui, ’Pulau Pisang 1 dan 2’, ’Banding Agung’, juga beberapa cerpen.
Puisi berbahasa Lampung juga lumayan, cukup kalau mau dibukukan. Tapi, karena
puisi itu jarang saya publikasikan, jadi sulit menemukan jejaknya.
Untuk puisi
Pulau Pisang 1 dan 2 saya ikutkan untuk antologi puisi dua bahasa
(Indonesia-Lampung) yang digagas/dieditori Udo Z. Karzi (belum terbit). Saya
menduga karena pesertanya bejibun (lebih 50 orang) dan tidak semuanya langsung
mengirim naskah dalam bentuk dwibahasa, sehingga Udo Z. Karzi terpaksa harus
mentransletnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Lampung. Aguy, bukan main
rekosonya. Payu kidah, tangeh kidang kekalau. Beguyor riya.
Lagi pula,
sepertinya Udo Z. Karzi bekerja sendiri dalam ’proyek’ ini, tentu butuh waktu
panjang untuk merampungkannya. Sedangkan Udo Z. Karzi telah pula disibukkan
dalam tugasnya mengevaluasi kinerja satuan kerja (satker) di Pemprov Lampung
dalam jabatannya sebagai Tim Ahli Gubernur. Ditambah lagi masuk pula ke dalam
gerbong kepengurusan Dewan Kesenian Lampung (DKL) periode 2015-2019 sebagai Ketua Komite Sastra. ”Ini
karena ketarik oleh yang ngajak masuk Tim Ahli,” kilahnya. Jawabku, mereka
berani narik karena tahu dengan kapasitas Udo.
sejenak in camera seusai diskusi Gamolan Pring di Lampost, Rabu, 20 November 2013 (foto dokumen Zabidi Yakub) |
Itulah
rangkuman yang bisa kucatat dari obrolan kami di tengah saya menahan kebelet
pipis itu. Entah juga, kenapa itu kafe kok nggak ada ruang private untuk urusan
buang hajat. Sehingga saya harus buru-buru menyudahi kebersamaan yang jarang tercipta
itu. Yah, ruang dan waktu terasa begitu gesit mengejar, kalau tidak
pandai-pandai memanfaatkannya tentu banyak hal yang akan terbuang percuma. Nah,
saya tak ingin itu terjadi, makanya segala hal ihwal di antara obrolan kami
berdua, dalam waktu sesingkat-singkatnya saya catat di laman blog ini.
Begitu juga
masalah jejak literasi di Bumi Lada ini, kalau terungkap semua sebenarnya akan
mengayakan ragam budaya. Tapi, ada yang tidak terpublikasi, seperti puisi-puisi
dan cerpen yang saya buat mengendap di hardisck komputer. Sebenarnya blog KAMPUNG KATA
ini saya niatkan untuk ruang memublikasikannya, tapi ada pertimbangan lain,
yaitu menyangkut plagiarism. Saya agak takut aja kalau dicomot dan diaku-aku
orang sebagai ciptaannya.
Kekhawatiran
demikian mungkin berelebihan, dan tentu tidak semestinya. Lagi pula, menjadikan
minimnya publikasi dan minim pula bukti autentik tentang jejak-jejak
kepenulisan. Apalagi kalau tolok ukurnya berdasar karya, susah membuat orang
percaya bila tidak menemukan jejak berkarya melalui publikasi. Untungnya, di
postingan awal blog, ada sebagian pilihan puisi yang saya buat pada tahun
’80-’90-an sewaktu di Jogja dan Malang, yang terkumpul dalam manuskrip.
Lain halnya dengan Udo Z. Karzi, karena menahbiskan diri sebagai ’Tukang Tulis’ dan memang rajin memublikasikan tulisan, baik di halaman surat kabar maupun dalam bentuk buku. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan beberapa penghargaan yang diraihnya. Sehingga setiap kali namanya disebut, mudah bagi orang mengarahkan ingatan kepada laki-laki beranak laki-laki dua kelahiran Liwa ini.
Komentar
Posting Komentar